KERANGKA
FILOSOFIS DALAM ANALISIS PRAKTIK MANAJEMEN
Seorang manajer harus memiliki
kemampuan dalam memilih ilmu pengetahuan secara selektif yang akan
diaplikasikan dalam praktik pengelolaan sebuah organisasi. Manajer juga harus
mampu memahami dan mengontrol perilaku orang lain yang terlibat di dalam
organisasi. Kemampuan tersebut akan menghasilkan nilai dalam diri seorang
manajer sehingga dapat menangani permasalahan yang muncul bahkan dalam
kasus-kasus ekstrim organisasi. Kemampuan menyeleksi ilmu pengetahuan dalam
praktik juga dapat menjadi kekuatan homogenisasi dari heterogenitas budaya,
opini, dan wewenang dalam organisasi sehingga tercipta prinsip dan tujuan
organisasi secara general.
Pemahaman keilmuan yang tepat
bagi seorang manajer akan memberikan kemampuan berpikir rasional kognitif dalam
pencapaian tujuan organisasi dan kemampuan berpikir rasional komunikatif dalam
menangani masalah-masalah normatif (Dixon dan Dogan, 2012). Pemikiran yang
dilakukan oleh seorang manajer dengan melakukan interaksi baik dengan intern
maupun ekstern organisasi akan menghasilkan seperangkat hirarki tersetruktur
mengenai keyakinan, nilai, dan norma manajemen organisasi.
Manajer yang mampu menghadapi
konflik dalam organisasi dan bangga pada organisasinya tergantung dari
kecenderungan pemahaman epistemologis dan ontologis mereka. Kecenderungan
epistemologis memperlihatkan cara pandang manajer pada apa yang mereka ketahui,
bagaimana hal itu diketahui, dan standar kebenaran apa yang bisa digunakan.
Sedangakan kecenderungan ontologis menunjukkan anggapan seorang manajer
mengenai sifat makhluk, bagaimana mereka ada, kondisi keberadaan mereka, dan
kemungkinan penyebab mereka ada (Dixon, 2002).
Disposisi
Epistemologis
Disposisi epistemologis terfokus
pada kemampuan seseorang dalam memahami fakta dengan cara mempercayai atau
memegang keyakinan. Sikap ini akan berangsur-angsur menjadi perilaku ketika
dikombinasikan dengan keinginan dan sikap mental
4
lainnya. Keyakinan dapat menjadi
pengetahuan melalui tahapan dan kriteria dengan standar ilmu pengetahuan.
Perdebatan epistemologis terjadi dalam ilmu-ilmu sosial yang menyangkut
hubungan antara objektif dan subjektif. Menurut Hollis (1994) terdapat dua
pendekatan epistemologis yaitu naturalism
dan hermeneutika.
Naturalisme merupakan teori yang
menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah
dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang
dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan
waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam.
Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang
mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada
(wujud) di atas atau di luar alam (Harold H. Titus et.al. 1984). Pendekatan
naturalisme menggunakan dasar pengetahuan sosial dengan dua tradisi utama yaitu
positvisme dan realisme.
Di bawah naungan payung
positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun
pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific
Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai
berikut: dapat di/ter-amati (observable),
dapat di/ter-ulang (repeatable),
dapat di/ter-ukur (measurable), dapat
di/ter-uji (testable), dan dapat
di/ter-ramalkan (predictable).
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan
kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran
adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu
pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung
pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar
apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian
(korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.
Realisme adalah suatu bentuk yang
dapat merepresentasikan kenyataan. Realisme terpusat pada pertanyaan tentang
representasi, yaitu tentang bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan secara
sosial kepada dan oleh diri kita. Inti realisme dapat dipahami sebagai kajian
tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi. Hal ini
berarti bahwa kita harus mempelajari asal-usul tekstual dari makna. Hal ini
juga menuntut kita untuk meneliti cara-cara tentang bagaimana makna diproduksi
dalam beragam konteks. Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa
kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang
terbangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk
penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun
ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris.
Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan
5
pengetahuan adalah bahwa
pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan
pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat
saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun
tidak dapat diobservasi secara langsung.
Pendekatan epistemologi kedua
yaitu hermeneutika. Dalam Webster’s Third
New International Dictionary dijelaskan
definisi hermeneutika yaitu studi tentang prinsip-prinsip metodologis
interpretasi dan eksplanasi, khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum
interpretasi Bibel. Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term
hermeneutika yaitu teologi, filsafat, dan sastra. Persoalan utama hermeneutika
terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif.
Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika adalah
penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika.
Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika yaitu
hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.
Hermeneutika teoritis. Bentuk
hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”,
yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan
pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks.
Kedua hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana
memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis.
Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Dan ketiga
hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di
balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks
sebagai problem hermeneutiknya.
Disposisi
Ontologis
Ontologi diartikan dengan meta
fisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang sifat dasar dari
kenyataan yang terdalam membahas asas-asas rasional dari kenyataan (Kattsoff,
1986). Dengan kata lain, permasalahan ontologi adalah menggali sesuatu dari yang
nampak. Dalam persoalan ontologi, sebuah objek dapat dipaparkan melalui lima
butir pertanyaan. Pertama, objek
tersebut bersifat satu atau banyak. Kedua,
bersifat transenden atau imanen. Ketiga,
permanen atau baharu (berubah-ubah). Keempat,
jasmani atau rohani. Kelima, objek
tersebut bernilai atau tidak. Dalam struktur realitas, ilmu sosial berada dalam
level ke empat. yakni merupakan ilmu yang membahas dalam ranah relasi atas
manusia. Dari situ dapat diketahui bahwa ilmu sosial merupakan ilmu
6
yang bersifat banyak (plural).
Sebab, ilmu sosial berjalan dalam pembahasan relasi atas manusia, dan pada
dasarnya, manusia bersifat kompleks, berbeda satu sama lain. Setiap pribadi
memiliki modelnya masing-masing, oleh karena itu, ilmu sosial pun bersifat
banyak atau plural.
Setelah mengetahui objek dari
ilmu sosial, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu sosial merupakan ilmu yang
berada dalam struktur-struktur, dan mengambil bagian yang menentukan proses
alam (imanen). Ilmu sosial bukanlah sesuatu yang berada jauh di atas hal-hal
yang terdapat dalam pengalaman (transenden), seperti halnya Tuhan. Berbeda
dengan ilmu alam, ilmu sosial cendrung bersifat berubah-ubah, ilmu sosial
memandang kebenaran tidak berifat mutlak, yang ada hanya mendekati kebenaran,
Ia bergantung pada keadaan objek yang dikaji, dalam ilmu sosial saat ini, belum
tentu sama dengan beberapa abad lalu atau yang akan datang. Ilmu sosial tidak
dapat diprediksi seperti halnya ilmu alam karena objek-objek dari ilmu sosial
berbeda dalam bentuk, struktur serta sifatnya.
Dari dikotomi epistemologis dan
ontologis muncul seperangkat metodologi yang dapat menghasilkan sebuah rerangka
yang digunakan untuk melihat ilmu sosial secara filosafis.
Gambar 1.
Dasar Epistemologis dan Ontologis dari Proposisi
Manajemen yang Baik
Epistemologi
|
||||||||
Naturalisme
|
Hermeneutik
|
|||||||
Naturalis Strukturalisme
|
Hermeneutik Strukturalisme
|
|||||||
Ontologi
|
Strukturalisme
|
Menganggap
bahwa dunia sosial
|
Menganggap
bahwa dunia sosial
|
|||||
perilaku
manusia dapat diprediksi.
|
diprediksi
dan dapat ditentukan.
|
|||||||
yang
bersifat objektif dapat
|
yang
bersifat subjektif diketahui
|
|||||||
diketahui
dengan metode ilmiah
|
hanya sebagai bentukan
|
|||||||
dimana
struktur menjalankan
|
masyarakat
dengan melihat
|
|||||||
kekuatan
melalui agen, sehingga
|
perilaku
mereka yang dapat
|
|||||||
“Manajemen Proses”
|
“Manajemen Inklusi/keterlibatan”
|
|||||||
7