Monday, November 11, 2019

MAKALAH KERANGKA FILOSOFIS DALAM ANALISIS PRAKTIK MANAJEMEN


KERANGKA FILOSOFIS DALAM ANALISIS PRAKTIK MANAJEMEN


Seorang manajer harus memiliki kemampuan dalam memilih ilmu pengetahuan secara selektif yang akan diaplikasikan dalam praktik pengelolaan sebuah organisasi. Manajer juga harus mampu memahami dan mengontrol perilaku orang lain yang terlibat di dalam organisasi. Kemampuan tersebut akan menghasilkan nilai dalam diri seorang manajer sehingga dapat menangani permasalahan yang muncul bahkan dalam kasus-kasus ekstrim organisasi. Kemampuan menyeleksi ilmu pengetahuan dalam praktik juga dapat menjadi kekuatan homogenisasi dari heterogenitas budaya, opini, dan wewenang dalam organisasi sehingga tercipta prinsip dan tujuan organisasi secara general.

Pemahaman keilmuan yang tepat bagi seorang manajer akan memberikan kemampuan berpikir rasional kognitif dalam pencapaian tujuan organisasi dan kemampuan berpikir rasional komunikatif dalam menangani masalah-masalah normatif (Dixon dan Dogan, 2012). Pemikiran yang dilakukan oleh seorang manajer dengan melakukan interaksi baik dengan intern maupun ekstern organisasi akan menghasilkan seperangkat hirarki tersetruktur mengenai keyakinan, nilai, dan norma manajemen organisasi.

Manajer yang mampu menghadapi konflik dalam organisasi dan bangga pada organisasinya tergantung dari kecenderungan pemahaman epistemologis dan ontologis mereka. Kecenderungan epistemologis memperlihatkan cara pandang manajer pada apa yang mereka ketahui, bagaimana hal itu diketahui, dan standar kebenaran apa yang bisa digunakan. Sedangakan kecenderungan ontologis menunjukkan anggapan seorang manajer mengenai sifat makhluk, bagaimana mereka ada, kondisi keberadaan mereka, dan kemungkinan penyebab mereka ada (Dixon, 2002).


Disposisi Epistemologis

Disposisi epistemologis terfokus pada kemampuan seseorang dalam memahami fakta dengan cara mempercayai atau memegang keyakinan. Sikap ini akan berangsur-angsur menjadi perilaku ketika dikombinasikan dengan keinginan dan sikap mental

4


lainnya. Keyakinan dapat menjadi pengetahuan melalui tahapan dan kriteria dengan standar ilmu pengetahuan. Perdebatan epistemologis terjadi dalam ilmu-ilmu sosial yang menyangkut hubungan antara objektif dan subjektif. Menurut Hollis (1994) terdapat dua pendekatan epistemologis yaitu naturalism dan hermeneutika.

Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam (Harold H. Titus et.al. 1984). Pendekatan naturalisme menggunakan dasar pengetahuan sosial dengan dua tradisi utama yaitu positvisme dan realisme.

Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable). Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.

Realisme adalah suatu bentuk yang dapat merepresentasikan kenyataan. Realisme terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu tentang bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial kepada dan oleh diri kita. Inti realisme dapat dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi. Hal ini berarti bahwa kita harus mempelajari asal-usul tekstual dari makna. Hal ini juga menuntut kita untuk meneliti cara-cara tentang bagaimana makna diproduksi dalam beragam konteks. Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang terbangun dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan

5


pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung.

Pendekatan epistemologi kedua yaitu hermeneutika. Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisi hermeneutika yaitu studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi, khususnya studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel. Setidaknya ada tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika yaitu teologi, filsafat, dan sastra. Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika adalah penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika yaitu hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.

Hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Dan ketiga hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.


Disposisi Ontologis

Ontologi diartikan dengan meta fisika umum yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang sifat dasar dari kenyataan yang terdalam membahas asas-asas rasional dari kenyataan (Kattsoff, 1986). Dengan kata lain, permasalahan ontologi adalah menggali sesuatu dari yang nampak. Dalam persoalan ontologi, sebuah objek dapat dipaparkan melalui lima butir pertanyaan. Pertama, objek tersebut bersifat satu atau banyak. Kedua, bersifat transenden atau imanen. Ketiga, permanen atau baharu (berubah-ubah). Keempat, jasmani atau rohani. Kelima, objek tersebut bernilai atau tidak. Dalam struktur realitas, ilmu sosial berada dalam level ke empat. yakni merupakan ilmu yang membahas dalam ranah relasi atas manusia. Dari situ dapat diketahui bahwa ilmu sosial merupakan ilmu

6


yang bersifat banyak (plural). Sebab, ilmu sosial berjalan dalam pembahasan relasi atas manusia, dan pada dasarnya, manusia bersifat kompleks, berbeda satu sama lain. Setiap pribadi memiliki modelnya masing-masing, oleh karena itu, ilmu sosial pun bersifat banyak atau plural.

Setelah mengetahui objek dari ilmu sosial, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu sosial merupakan ilmu yang berada dalam struktur-struktur, dan mengambil bagian yang menentukan proses alam (imanen). Ilmu sosial bukanlah sesuatu yang berada jauh di atas hal-hal yang terdapat dalam pengalaman (transenden), seperti halnya Tuhan. Berbeda dengan ilmu alam, ilmu sosial cendrung bersifat berubah-ubah, ilmu sosial memandang kebenaran tidak berifat mutlak, yang ada hanya mendekati kebenaran, Ia bergantung pada keadaan objek yang dikaji, dalam ilmu sosial saat ini, belum tentu sama dengan beberapa abad lalu atau yang akan datang. Ilmu sosial tidak dapat diprediksi seperti halnya ilmu alam karena objek-objek dari ilmu sosial berbeda dalam bentuk, struktur serta sifatnya.


Dari dikotomi epistemologis dan ontologis muncul seperangkat metodologi yang dapat menghasilkan sebuah rerangka yang digunakan untuk melihat ilmu sosial secara filosafis.


Gambar 1.

Dasar Epistemologis dan Ontologis dari Proposisi Manajemen yang Baik







Epistemologi





















Naturalisme

Hermeneutik















Naturalis Strukturalisme

Hermeneutik Strukturalisme

Ontologi

Strukturalisme

Menganggap bahwa dunia sosial

Menganggap bahwa dunia sosial



perilaku manusia dapat diprediksi.

diprediksi dan dapat ditentukan.





yang bersifat objektif dapat

yang bersifat subjektif diketahui





diketahui dengan metode ilmiah

hanya  sebagai bentukan





dimana struktur menjalankan

masyarakat dengan melihat





kekuatan melalui agen, sehingga

perilaku mereka yang dapat





Manajemen Proses

Manajemen Inklusi/keterlibatan
















7






Naturalis Agensi
Hermeneutik Agensi






Menganggap bahwa dunia sosial
Menganggap bahwa dunia sosial



yang bersifat objektif dapat
yang bersifat subjektif dapat


Agensi
diketahui dengan metode ilmiah
diketahui melalui apa yang orang-


dimana orang-orang sebagai agen
orang percaya dengan adanya


dari tindakan mereka dengan
pembatasan pada persepsi mereka






perilaku mereka yang dapat
sehingga perilaku mereka dapat



diprediksi dengan tidak membatasi
diprediksi.



kepentingan mereka.




Manajemen Hasil
Manajemen Keberlangsungan








Makalah Media komunikasi

BAB   I PENDAHULUAN A.    Latar belakang Dalam kehidupan manusia tidak lepas dari komunikasi  baik itu perorangan atau kelompok. Hal...