BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an
sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi
umat Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Sebagai Huda al-Nash
al-Qur’an memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya
maupun bentuk pola-pola hukum syara’ yang tidak terlepas dari aspek sosio
cultural masyarakat Arab saat itu. Sebab, diakui atau tidak turunnya al-Qur’an
secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu.
Dalam
kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam
al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara
lain ilmu Qur’an yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam
mutasyabih, Al-Nasakh Wa al-Mansukh dan yang lainnya serta
pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah. Al-Nasakh Wa al-Mansukh
sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang
sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum
yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Oleh karena
itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana
sebenarnya Al-Nasakh Wa al-Mansukh. Namun demikian harus
dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan acuan dasar yang patut mendapatkan
pembahasan dan kajian ulang baik terkait data yang disajikan maupun conten dari
makalah. Dengan demikian kita akan memperoleh pemahaman yang holistik
terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh?
2. Bagaimanakah cara
mengetahui Al-Nasakh Wa al-Mansukh?
3. Sebutkan macam dan
jenis Al-Nasakh Wa al-Mansukh?
4. Apakah hikmah
dari Al-Nasakh Wa al-Mansukh?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Secara
etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan, yang memindahkan,
menyalin, mengubah dan menggganti. Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad
Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة: yang
berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang
sering berkata نسحت الشمس الظل (Cahaya Matahari menghilangkan
bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع .yaitu memindahkan sesuatu dari satu
tempat ketempat yang lainnya. Difinisi ini juga merujuk pada QS.al-Jaziyah:29
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu danmenggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu danmenggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S.
al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah
jika akan
menghadap rasul menjadi bebas.
b. Nasakh
adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’
hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada S. al-Anam:5 dan
al-Baqorah :106
c. رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنه artinya mengangkatkan hukum syara’
dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Dari
definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain
sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain
itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun
Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan
disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan الحكم المرتفع Hukum
yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang
wasiat.
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[ dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[ Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[ dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[ Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Artinya
:”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma’ruf[ (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”
Sedangkan
secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang
pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil
syara’ baru yang datang kemudian.
Dengan
demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara
bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh
mensyaratkan beberapa hal antara lain :
a) Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya
hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum
Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan
dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram,
Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b) Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa
dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS.
Al-Nisa’: 59
c) Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil
yang di hapus.
d) Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata
antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan.
B. Cara
Mengetahui Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Setelah
memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan
yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab
pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan
bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara
sebagai berikut :
a) Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b) Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh
dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil
tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada
ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
c) Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang
pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13
tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
C.
Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Dalam
Kajian Hukum Islam Terdapat alasan yang mendasar
mengapa Al-Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat
kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :
a. Terkait status hukum Islam.
b. Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama
ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam proses istinbath Hukum.
c. Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis
atas kehujahan al-Qur’an.
d. Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri
e. Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad
f. Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.
D. Macam
Dan Jenis Nasakh
Para ulama
membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :
1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Jenis
Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya. Dengan
kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima. Contoh : Penghapusan kewajiban
bersedekah ketika akan menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12
yang di Nasakh ayat 13.
2. Nasakh Qur’an dengan Sunah
Nasakh
jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
1. Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad.
Menurut
Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah
Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni (
Dugaan ). Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di
hapus oleh
sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan)
2. Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.
Jumhur
ulama’, Menurut Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad,
Nasakh jenis ini diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal
ini di dukung dengan firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4 Namun
demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis
tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman
Allah yang
terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106
3. Sunah dengan Qur’an
Bagi Jumhur
ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas keberadaan
Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-Syura.
عن عائشة قالت: كان عاشوراء صياما, فلما انزل رمضان كان
من شاء صام ومن شاء افطر
(رواه بخارى ومسلم)
Artinya :
dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika
diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada
pula yang tidak berpuasa.
Sunah ini
di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Walaupun
demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab antara
Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan.
Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang
bertentangan dengan Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa
adanya Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal
sebagaimana yang kita ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan
atas Qur’an.
4. Nasakh Sunah dengan Sunah.
Jenis
Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :
Mutawatir
dengan Mutawatir
Ahad
dengan Ahad
Ahad
dengan Mutawatir
Mutawatir
dengan Ahad.
Bagi Jumhur
ulama’ dari keempat nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi bagian dari
Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu
Mutawatir dengan Ahad. Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai
kebenaran yang terkandung di dalamnya.
D. Bentuk
Nasakh Dalam al-Qur’an
Al-Qattan
dalam bukunya Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi Nasakh dalam al-Qur’an dalam 3
macam, yaitu :
1. Pertama Nasakh Tilawah (bacaan) beserta Hukumnya.
Artinya
keberadaan ayat dan hukumnya telah dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai
lagi dalam al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi debatable, sebab apakah mungkin
hal yang demikian itu terjadi. Tentunya keraguan yang demikian itu adalah
wajar, sebab bisa jadi keberadaan jenis Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan
tertentu. Namun demikian dalam literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh
ini merujuk pada Hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa :
كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات فنسخن بخمسى معلومات.
فتف فى رسول الله ص.م. (وهن مما يقرأ من القران)
Menurut
Qodi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan
jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi al-Qattan berpendapat
bahwa penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah
dua hal yang berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar
ahad sedangkan sesuatu sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’I atau khabar
Muatawatir.
2. Kedua Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap.
Contoh
Nasakh ini adalah ayat idah selama satu tahun yang di Nasakh menjadi 4 bulan 10
hari. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 240
Artinya :
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi
jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari
yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat
tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234
Artinya : “
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Hikmah yang
dapat kita petik atas keberadaan jenis Nasakh ini adalah :
1. Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2. Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan.
1. Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2. Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya untuk meringankan.
3. Nasakh tilawah sedangkan hukum tetap.
Keberadaan
Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab.
Yang menyatakan :
كان فيما
انزل من الق ران الشيخ والشيخة اذأ زنيا فارجمو هما البتة نكالا من الله
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Ketentuan
hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafalnya dalam Mushaf Usmani
(al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut sudah
dimansukh. Namun ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang tua ) masih tetap
berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini tidak dapat di terima,
sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan
turunnya al-Qur’an dan Nasakhnya dengan khabar ahad.
F. Nasakh
Berpengganti Dan Tidak Berpengganti
1. Nasakh
berpengganti
Di lihat
dari sisis penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :
a. Nasakh
dengan badal akhof ( pengganti yang lebih ringan )
b. Nasakh
dengan badal Mumatsil ( pengganti serupa )
c. Nasakh
dengan badal Atsqal ( pengganti yang lebih berat ).
2. Nasakh
tanpa Badal.
Jenis
Nasakh ini contohnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan
kewajiban bersedekah ketika hendak menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat
dalam QS. Al-Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13.
G. Pandangan
para ulama terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Keberadaan
Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan
di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum
Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga
tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena
itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan para ulama tentunya
beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah :
1. Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah
terjadi.
Pendapat
pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang
mereka pakai adalah : Bahwa perbuatan Allah tidakv bergantung pada alasan
dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan
alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak.
Adanya Nash
Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a. Dalam
Qur’an surat an-Nahl : 101
b. QS.
Al-Baqarah:106
c. Hadis
Dari Ibn Abbas yang menyatakan :
قال عمر رضى الله عنه. اقرؤنا ابى واقعنانا وانا لتدع من
قول ابى وذاك ان أبيا يقول: لا ادع شئا سمعته من رسول الله ص.م. وقد قال الله عز
وجل ننسخ من ايته اوننسها….(رواه ابن عباس)
2. Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’
tidak.
Pendapat
ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin
terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS.
Fushilat:42
3. Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun
pandangan.
Pendapat
ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung
konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah
mustahil Allah menghapus apa yang telah di FirmankanNya.
H. Hikmah
Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Dari uraian
di atas, maka dapatlah kita pahami bahwa kajian Nasakh dan Mansukh memiliki
hikmah yang teramat penting. Adapun hikmah tersebut dapat kita petakan menjadi
2 macam yaitu hikmah secara umum dan hikmah secara khusus yang merujuk pada
jenis penggati hukumnya. Hikmah-hikmah tersebut adalah :
a. Secara
umum hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh adalah :
1) Membuktikan Bahwa Syariat Agama Islam adalah Syari’at
yang sempurna.
2) Memelihara kepentingan hamba.
3) Cobaan bagi mukalaf untuk mengikuti ataupun tidak
mengikuti.
4) Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap kondisi
umat manusia.
5) Kemudahan dan kebaikan bagi umat.
b. Secara
khusus hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh di lihat dari segi
penggantinya adalah:
1) Nasakh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga
kemaslahatan manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan bersedekah
ketika menghadap Rasul.
2) Nasakh dengan badal seimbang, hikmahnya adalah
menentukan hukum baru sebagaimana yang terdapat dalam perintah untuk menghadap
Baitul Maqdis yang di
3) Nasakh menghadap Ka’bah.
4) Nasakh dengan Badal Astqal hikmanya adalah untuk
menambah kebaikan dan pahala umat.
5) Nasakh dengan badal lebih ringan hikmanya adalah
sebagai bentuk dispensasi bagi umat manusia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Nasakh dapat di pahami sebagai hukum yang membatalkan
atau mengganti hokum yang telah terlebih dahulu disyari’atkan oleh Allah SWT.
Sedangkan Mansukh adalah hukum yang dibatalkan atau yang di ganti.
2. Keberadaan Nasakh dan Mansukh dapat di identifikasi
dengan beberapa cara yang
telah di
tentukan oleh para ulama, yang terdiri atas :
a. Terdapat
keterangan yang tegas dari Nabi atau sahabat
b. Terdapat
kesepakatan ulama mana ayat yang Nasakh dan Mansukh
c.
Diketahui dari sala satu Nash mana yang pertama dan mana yang kedua.
3. Jenis Nasakh terdiri atas :
a. Nasakh
al-Qur’an dengan al-Qur’an
b. Nasakh
al-Qur’an dengan Sunah yang terbagi atas Qur’an dengan Hadis Ahad dan Qur’an
dengan Hadis Mutawatir
c. Nasakh
Sunah dengan Qur’an
d. Nasakh
Sunah dengan Sunah yang terdiri atas Mutawatir dengan Mutawatir, Ahad dengan
Ahad, Ahad dengan Mutawatir dan Mutawatir dengan Ahad
4. Adapun bentuk Nasakh yang terdapat dala al-Qur’an
adalah terdiri atas :
a. Nasakh
Tilawah dan hukumnya sekaligus
b. Nasakh
Hukum sedangkan Tilawahnya tetap
c. Nasakh Tilawah
sedangkan Hukumnya tetap
5.
Keberadaan Nasakh dan Mansukh dalam al-Qur’an di lihat dari sisi penganti
hukumnya bisa di petakan menjadi tiga macam yaitu pertama dengan pengganti yang
setara (Amtsal ), kedua dengan pengganti yang lebih berat ( Astqol ) ketiga
dengan pengganti yang lebih ringan ( Akhof )
DAFTAR
PUSTAKA
Djalal, H.
Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu, 1998.
Marzuki,
Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung : PT. Remaja Rosdakarria, 1992.
Syadali,
Ahmad, ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000.
Al-Qattan,
Manna Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, alih bahasa Mudzakir As
Bogor : Litera Antaranusa, 2007.
http://kajianislam.wordpress.com/2007/06/26/soal-nasikh-dan-mansukh/. Akses
tanggal 28 Oktober 2019.