BAB I
PENDAHULUAN
Alquran dan Sunah yang merupakan sumber pengambilan (istinbath) hukum
utama dalam Islam. Nash-nash hukum yang ada dalam Alquran dan Sunah memakai
bahasa Arab. Dalam ilmu ushul fiqh, bahasa Arab adalah ilmu penunjang atau
pendukung yang sangat penting, tanpa ilmu bahasa Arab, seorang mujtahid akan
kebingungan dalam memahami teks Alquran maupun sunah.
Penggunaan ilmu
bahasa Arab diantaranya untuk mengetahui detail-detail lafaz sehingga dengan
memahami makna yang terkandung dalam ayat ataupun sunah seorang mujtahid bisa
menetapkan hukum berdasarkan nash tertentu. Terkadang dilalah lafaz yang tertulis secara tekstual berbeda makna dan
maksudnya jika dilakukan penelitian. Oleh karena itu, diperlukan metode khusus
untuk memahami nash Alquran dan sunah. Para ulama’ telah menetapkan beberapa
kaidah yang bisa digunakan dalam memahami dalil naqli. Kaidah lughawiyah inilah
yang nantinya dijadikan patokan dan pedoman dalam istinbath hukum Islam.
Teks Alquran tidak hanya menggunakan satu kalimat yang mengandung satu
arti, namun bisa jadi satu kalimat memiliki beberapa cakupan makna. Lafaz
Alquran bisa ditampilkan dalam berbagai bentuk; ‘amr dan nahi, ‘am dan khas,
mutlak dan muqayyad, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya yang kesemuanya itu
bisa dipahami bila dilakukan pengkajian terhadap gaya bahasa Arab, makna kata
dan mufradat-mufradatnya, struktur kalimatnya, dan lain-lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
‘Am dan Khas
1.
‘Am
a.
Pengertian
Lafadz
‘Am (kata umum) adalah lafadz yang digunakan secara umum dalam menunjukkan
suatu makna yang layak, sesuai dengan lafadz itu sendiri dan makna yang
terkandung di dalamnya tidak dibatasi dengan jumlah tertentu. Adapun
jika dilihat dari segi bahasa, lafadz ‘am memiliki pengertian umum atau merata.
'Am secara bahasa adalahشمول (mencakup) dan dalam
istilah ialah lafaz yang mencakup seluruh anggota-anggotanya. Misal lafaz رجل (seorang laki-laki),
lafaz ini menunjukkan suatu arti yang mencakup semua
satuan-satuannya. Lafaz إنسان juga termasuk
lafaz 'am, karena mencakup setiap satuan manusia sekaligus. Seperti dalam
firman Allah SWT:
إِنَّالْإِنْسَانَلَفِيْخُسْرٍ
"Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian". (QS. Al-Ashr: 2)
Dalam ayat tersebut terdapat lafaz insan
(manusia), menunjukkan arti umum karena mencakup seluruh manusia baik yang
beriman maupun tidak beriman.
Jadi,
dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan lafaz 'am
adalah suatu lafaz yang menunjukkan sesuatu secara menyeluruh dan
mencakup satuan-satuan atau anggota-anggotanya, tanpa ada batasan. Jika suatu
lafaz menunjukkan batasannya maka bukan dinamakan lafaz 'am, seperti kataرجلين (dua orang
laki-laki) yang dibatasi denganعدد (jumlah) "dua,
tiga", begitupun seterusnya.
b.
Lafadz-lafadz ‘Am
1) Kullun,
jami’un, kaffatun dan ma’syara
Contoh Kullun
كُلُّنَفْسٍذَائِقَةُالْمَوْتِ
“Tiap-tiap jiwa pasti akan merasakan kematian”.(QS. Ali Imron: 185)
Contoh Jami’un
خَلَقَلَكُمْمَّافِيالْٱَرْضِجَمِيْعًا
“Dijadikan untuk kamu
segala yang ada di bumi". (QS. Al-Baqarah:
29)
Contoh Kaffatun
وَقَتِلُواالْمُشْرِكِيْنَكَافَّةًكَمَايُقَاتِلُوْنَكُمْكَافَّةً
"Dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya" (QS. At-Taubah: 36)
Contoh Ma’syara
يَمَعْشَرَالْجِنِّوَالْإِنْسِ
“Wahai golongan jin dan manusia”.(QS. Al-An’am:
130)
2) Isim Syarat (Man,
maa dan aina)
Contoh Man (مَنْ)
فَمَنْشَهِدَمِنْكُمُالشَّهْرَفَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapadiantara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu”.(QS.
Al-Baqarah: 185)
Contoh Maa (مَا)
وَمَاتُنْفِقُوْامِنْخَيْرٍيُّوَفَّإِلَيْكُمْ
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahala yang cukup”.(QS.
Al-Baqarah: 272)
Contoh Aina (أيْنَ)
أَيْنَماَتَكُوْنُوْايُدْرِكْكُمُالْمَوْتُ
“Dimana saja kamu berada, kematian akan
mendapat kamu”. (QS. An-Nisa’ ayat 78).
3) Isim Istifham (Man, maa, aina
dan mata)
Contoh Man
مَنْذَاالَّذِيْيُقْرِضُوااللهقَرْضًحَسَنًا
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah dengan pinjaman yang baik”(QS. Al-Baqarah: 245)
Contoh Maa
مَاسَلَكَكُمْفِيْسَقَرَ
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka) ?” (QS. Al-Mudtsir: 42)
Contoh Aina
أَيْنَمَأكُنْتُمْتَدْعُوْنَمِنْدُوْنِالله
“Dimana (berhala-berhala) yang biasa kamu
sembah selain Allah ?”.(QS. Al-A’raf: 37)
Contoh Mata
مَتَىنَصْرُالله
“Kapan akan
datang pertolongan Allah ?”.(QS. Al-Baqarah: 214)
4) Nakirah
sesudah nafi
وَاتَّقُوْايَوْمًالَّاتَجْزِيْنَفْسٌعَنْنَفْسٍشَيْئًا
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan
seseorang lain sedikitpun”.(QS. AL-Baqarah: 123)
5) Isim
maushul (Kata sambung)
وَالَّذِيْنَيَرْمُوْنَالْمُحْصَنَاتِ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik berbuat zina”.(QS. An-Nur: 4)
6) Jama’
yang dimu’rafkan dengan Idhafah atau alif lam jinsiyah
Contoh jama' yang
dima'rifahkan dengan al jinsiyyah
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوْءٍ
“Wanita-wanita yang ditalakhendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (QS. Al-Baqarah: 228)
Contoh jama' yang
dima'rifahkan dengan idafah:
يُوْصِيْكُمُاللهُفِيْأَوْلَادِكُمْلِلذَّكَرِمِثْلُحَظِّالْأُنْثَيَيْنِ
“Allah mensyari'atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan”. (QS. An-Nisa': 11)
خُذْمِنْأَمْوَالِهِمْصَدَقَةً
“Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka”. (QS. At-Taubah:
103)
7) Isim
mufrad yang dima’rifahkan dengan alim lam jinsiyah
وَالسَّارِقُوَالسَّارِقَةُفَاقْطَعُوْاأَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”. (QS. Al-Maidah: 38)
الزَّانِيَةُوَالزَّانِيْفَاجْلِدُوْا
“Perempuan yang berzina dan laki-lakiyang berzina, maka deralah" (QS. An-Nur: 2)
وَأَحَلَّاللهُالْبَيْعَوَحَرَّمَالرِّبَا
“Dan Allah telah menghalalkan jualbeli dan mengharakan riba”.(QS. Al-Baqarah: 275).
c. Macam-macam ‘am
Lafadz ‘Am
terbagi menjadi tiga macam :
1. Am yang maksudnya benar-benar 'am
(umum) secara qat'i karena adanya qarinah (petunjuk) yang menghilangkan kemungkinan
kekhususannya, seperti lafaz:
وَمَامِنْدَابَّةٍفِىالْأَرْضِإِلَّاعَلَىاللهرِزْقُهَا
"Dan tidak ada
satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya". (QS. Hud: 6)
وَجَعَلْنَامِنَالْمَاءِكُلَّشَيْءٍحَيٍّ
"Dan daripada air,
Kami jadikan segala sesuatu yang hidup". (QS. Al-Anbiya': 30)
Dari
kedua ayat diatas, dapat diperoleh pemahaman bahwa pada kenyataannya segala
sesuatu di bumi ini, hanya Allah yang memberikan rezeki. Menurut akal (aqli),
segala yang ada di dunia ini adalah berasal dari air. Dalil akal ini merupakan
qarinah bahwa kedua ayat diatas pasti 'am, tidak dimaksudkan makna khusus.
2. Lafaz 'am yang dimaksudkan untuk
arti khusus karena ada qarinah atau dalil menunjukkannya.
وَلِلَّهِعَلَىالنَّاسِحِجُّالْبَيْتِ
"Mengerjakan haji ke Baitullah adalah
kewajiban manusia terhadap Allah".(QS. Ali Imran: 97)
Dapat dipahami
dalam ayat diatas, bahwa kewajiban haji adalah untuk semua orang, tetapi
berdasarkan petunjuk akal, orang yang berkewajiban haji adalah orang mukallaf
yang berakal, karena tidak mungkin anak kecil dan orang gila bisa menunaikan
haji. Dalil aqli inilah yang
menjadi qarinahnya.
3. Lafaz 'am yang memang dimaksudkan
untuk umum selama tidak ada dalil yang menunjukkan arti lain (takhsis). Atau
biasa disebut 'am makhsus, yakni lafaz 'am yang khusus (dimaksudkan) untuk 'am
('am mutlak)
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوْءٍ
"Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." (QS. Al-Baqarah: 228)
Ayat
diatas berarti semua wanita yang ditalak, baik dalam keadaan hamil atau tidak
maka masa 'iddahnya adalah tiga kali quru' (tiga kali suci atau tiga kali
haid). Hal ini disebabkan karena tidak adanya qarinah yang menjelaskan
kekhususannya ataupun menjelaskan keumumannya.
d. Dilalah Lafaz ‘Am
Pada
dasarnya semua lafaz ‘am tetap pada keumumannya sebelum ada lafaz lain yang
mentahksisnya. Akan tetapi, jumhur ulama’ berpendapat bahwa apabila ada lafaz
‘am sebisa mingkin dicari mukhasisnya, namun, jumhur ulama’ berbeda pandangan
mengenai dalalah lafaz ‘am itu dzani atau qat’i.
Pertama, ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa dalalah ‘am adalah qat’i sebagaimana
lafaz khas, alasan mereka adalah karena lafaz ‘am itu mengandung makna yang
pasti dan tegas sampai ada dalil yang mengkhususkan satuan-satuan yang ada
dalam lafaz ‘am.
Kedua, ulama’
Syafi’iyah berpendapat bahwa lafaz ‘am itu adalah dzani. Oleh sebab itu, setiap
lafaz ‘am haruslah dicarikan mukhasisnya sebelum mengamalkan dalil ‘am. Mereka
menegaskan:
مَامِنْعَامٍإِلَّاقَدْخُصَّمِنْهُالْبَعْضَ
“Lafaz ‘am tidak dapat
diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”.
2. Khas
a. Pengertian
Khas
secara bahasa adalah lawa dari 'am (ضدالعام) menurut istilah ialah:
اللفظالدالعلىمحصوربشخصٱوعدد
"Suatu lafaz yang menunjukkan arti sesuatu
yang terbatas dengan orang tertentu atau bilangan tertentu".
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa lafaz khas adalah suatu lafaz yang
figunakan untuk menunjukkan arti tertentu atau khusus, baik berupa person
(orang) tertentu seperti isim alam (khalid, Muhammad,dsb); berupa jenis
seperti رجل،فرس atau bisa berupa 'adad (bilangan) seperti dua,
tiga, sepuluh, tiga puluh, dll.
b. Karakteristik
Lafaz Khas
1) Diungkapkan
dengan menyebut jumlah
Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوْءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." (QS.
Al-Baqarah: 228)
Maksud ayat
diatas adalah seorang wanita yang ditolak oleh suaminya hendaknya ber-'iddah
selama tiga kali haid/suci. Dalam ayat diatas terdapat lafaz 'adad
(jumlah) yaitu lafaz ثلاث(tiga). Sehingga
dapat dipahami bahwa lafaz diatas termasuk lafaz khas karena diungkapkan dengan
jumlah atau bilangan
2) Menyebut
jenis (golongan, nama sesuatu, nama orang)
Misal yang menunjukkan golongan:
وَاقْتُلُواالْمُشْرِكِيْنَحَيْثُوَجَدْتُمُوْهُمْ
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimana
saja kamu jumpai”.(QS. At-Taubah: 5)
Yang termasuk
lafaz khas pada ayat diatas adalah lafaz musyrik, karena menunjukkan golongan
tertentu saja, yaitu orang-orang yang syirik (menduakan Allah)
Misal yang menunjukkan nama orang:
مُحَمَّدٌرَّسُوْلُاللهِ
"Muhammad itu adalah seorang
Rasulullah". (QS. Al-Fath: 29)
Lafaz
"Muhammad diatas termasuk lafaz khas, karena menunjuk kepada
satu pengertian yaitu Nabi Muhammad SAW
3) Lafaz
yang ada batasnya atau lafaz idafah
Contoh:
وَمَنْقَتَلَمُؤْمِنًاخَطَاًفَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍمُّؤْمِنَةٍ
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mukmin karena tersalah maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman". (QS. An-Nisa': 92)
Lafaz رقبة pada ayat
diatas termasuk lafaz khas karena telah ada sifat yang membatasinya yaitu
lafaz مؤمنة. Berarti budak yang wajib dimerdekakan disini adalah budak yang
mukmin.
c. Macam-macam
Mukhassis
1) Munfashil
Muttashil
Yakni Mukhassis
yang tidak berdiri sendiri, melainkan larasnya disebutkan setelah atau
bersamaan dengan dalil 'am. Ada beberapa macam bentuk
MukhassisMuttashildiantaranya:
a) Istisna'
إِنَّالإِنْسَانَلَفِيْخُسْرٍ.
إِلَّاالَّذِيْنَآمَنُوْاوَعَمِلُواالصَّالِحَاتِ
"Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal Shaleh". (QS. Al-'Ashr: 1-2)
b) Syarat
وَبُعُوْلَتُهُنَّٱَحَقُّبِرَدِّهِنَّإِنْأَرَادُوْاإِصْلَاحًا
“Suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah”.(QS.
Al-Baqarah: 228)
c) Sifat
مِنْنِسَائِكُمُالَّتِيْدَخَلْتُمْبِهِنَّ
"Dari istri-istri yang telah kamu campuri". (QS.
An-Nisa': 23)
d) Ghayah
(batasan)
وَلاَتَقْرَبُوْهُنَّحَتَّىيَطْهُرْنَ
“Dan janganlah kamu mendekati mereka sampai
mereka suci”. (QS. AL-Baqarah: 222)
ثُمَّأَتِمُّالصِّيَامَاِلَىالَّليْلِ
“Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (QS.
Al-Baqarah: 187)
2) Mukhassis
Munfashil
a) Takhsis
kitab dengan kitab
Seperti
dalam firman Allah berkaitan dengan masalah 'iddah perempuan yang ditolak oleh
suaminya
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوْءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." (QS.
Al-Baqarah: 228)
Ayat diatas bersifat umum, kemudian
ditakhsis dalam ayat yang lain:
وَأُولَاتُالْأَحْمَالِأَجَلُهُنَّأَنْيَضَعْنَحَمْلَهُنَّ
“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu ‘iddah
mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.(QS. At-Thalaq:
4)
Jadi
indahnya wanita yang ditolak suaminya jika ia tidak hamil dan masih dalam
keadaan subur maka indahnya adalah tiga quru'. Namun, jika wanita
yang ditalak suaminya itu dalam keadaan hamil maka 'iddahnya adalah sampai ia
melahirkan anaknya
b) Takhsis
kitab dengan sunnah
حُرِّمَتْعَلَيْكُمُالْمَيْتَةَ
Ayat diatas ditakhsis dengan hadis Nabi
SAW, yaitu:
هُوَالطُّهُوْرُمَاءُهُالْحَلُّمَيْتَتُهُ
"Laut itu suci airnya dan halal bangkainya"
c) Takhsis
sunah dengan sunah
فيماسقتالسماءالعشر
Hadis
diatas menjelaskan bahwa tanaman yang disirami dengan air
hujan, zakatnya adalah sepersepuluh
Kemudian ditakhsis dengan hadis Nabi:
ليسفيمادونأوسقصدقة
Maksudnya tanaman yang kurang dari wasaq (tidak
mencapai nisab) maka tidak wajib dizakati
d) Takhsis
kitab dengan ijma'
وَالَّذِيْنَيَرْمُوْنَالْمُحْصَنَاتِثُمَّلَمْيَأْتُوْابِأَرْبَعَةِشُهَدَاءَفَاجْلِدُوْهُمْثَمَانِيْنَجَلْدَةً
Ayat diatas menjelaskan bahwa orang yang
melakukan qadzaf (menuduh orang berbuat zina) maka hanya adalah delapan puluh
kali dera. Namun, ayat diatas ditakhsis dengan ijma' ulama' yang
menyatakan bahwa seorang budak yang melakukan qadzaf hukumannya setengah dari
orang merdeka yaitu empat puluh kali dera.
e) Takhsis
sunah dengan kitab
لَايَقْبَلُالصَّلَاةَأَحَدُكُمْحَتَّىيَتَوَضَّأَ
“Allah tidak akan menerima sholat salah seorang
diantara kalian yang berhadas sehingga berwudlu”
Hadis
diatas memiliki pengertian yang luas, bahwa yang wajib menjalankan sholat
adalah semua orang, baik orang yang sakit, sehat, dalam bepergian ataupun di
rumah jika bernafas maka wajib berwudu. Hadis tersebut di takhsis dengan hadis
lain yang berbunyi:
وَإِنْكُنْتُمْمَّرْضَىأَوْعَلَىسَفَرٍأَوْجَاءَأَحَدٌمِّنْكُمْمِّنَالْغَائِطِأَوَلَمَسْتُمُ النِّسَاَءَفَلَمْتَجِدُوْامَاءًفَتَيَمَّمُوْاصَعِيْدًاطَيِّبًا
"Jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan kemudian
kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci) ". (QS. An-Nisa': 43)
Dengan
demikian maksudnya adalah orang yang sakit, bepergian atau tidak mendapatkan
air jika akan melaksanakan sholat maka tidak wajib berwudu namun diwajibkan
tayamum.
B. Mutlak
dan Muqayyad
1. Mutlak
Makna
Mutlak adalah lafaz khas yang menunjukkan cakupan atas satu atau beberapa
satuan, dan tidak dibatasi dengan sifat. Misal lafaz رجل،رجال،كتاب،كتب. .
Lafaz-lafaz tersebut mencakup satu jenis yang tidak tertentu atau tidak
dibatasi. Maksudnya adalah lafaz yang menunjukkan arti hakikat atau makna yang
sebenarnya tanpa adanya ikatan.
Contoh:
فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍمِّنْقَبْلِأَنْيَتَمَاسّاَ
"Maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu
bercampur" (QS. Al-Mujadilah: 3)
Lafaz
"raqabah" yang berarti hamba sahaya atau budak itu adalah lafaz
mutlak, tidak dibatasi budak yang bagaimana dan seperti apa, bisa meliputi
budak mukmin atau kafir. Jadi maksud ayat diatas adalah bila seseorang menzihar
istrinya maka wajib bagi suami untuk memerdekakan budak, baik budak itu mukmin
ataupun kafir.
2. Muqayyad
a. Pengertian
Muqayyad
merupakan kebalikan dari mutlak, yakni lafaz yang menunjukkan hakikat yang
sebenarnya dengan dibatasi oleh batasan-batasan tertentu, sehingga maknanya lebih
spesifik dan pasti.
Contoh:
فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍمُّؤْمِنَةٍوَّدِيَةٌمُّسَلَّمَةٌإِلَىأَهْلِهِ
"Maka hendaklah (ia) memerdekakan seorang
budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya".(QS. An-Nisa': 92)
Lafaz رقبةمؤمنة adalah lafaz
muqayyad karena telah dibatasi oleh suatu sifat مؤمنة sehingga
maknanya lebih spesifik dan terbatas pada budak perempuan yang beriman
b. Bentuk-bentuk
Qayid
1) Sifat
Contoh:
فَمِنْمَامَلَكَتْأَيْمَانُكُمْمِّنْفَتَيَتِكُمُالْمُؤْمِنَتِ
"...Maka ia boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki". (QS.
An-Nisa': 25)
Lafaz المؤمنات adalah qayid
(batasan) berupa sifat yang membatasi lafaz perempuan hamba sahaya. Dengan
demikian, dapat dipahami dengan adanya qayid dalam lafaz tersebut memberikan
pengertian bahwa seorang laki-laki mukmin yang merdeka bila tidak mampu menikah
dengan perempuan mukmin merdeka, maka ia boleh menikahi budak-budak (hamba
sahaya) mereka yang mukmin.
2) Syarat
Contoh:
فَمَنْلَّمْيَجِدْفَصِيَامُشَهْرَيْنِمُتَتَابِعَيْنِ
"Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut".(QS.
Al-Mujadilah: 4)
Ayat diatas
membicarakan masalah zihar, bentuk kafarat bagi suami yang melakukan zihar
kepada istrinya yaitu memerdekakan budak (perempuan), jika tidak ditemukan
(tidak sanggup) maka diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Dalam
ayat ini kewajiban berpuasa untuk pembayaran kafarat zihar disyaratkan dengan
qayid "dua bulan berturut-turut"
3) Batas
(ghoyah)
Contoh:
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَأّمَنُوْاإِذَاقُمْتُمْإِلَىالصَّلاَةٍفَاغْسِلُوْاوُجُوْهَكُمْوَأَيْدِيَكُمْإِلَىالْمَرَافِقِ
"Hai orang-orang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku".(QS.
Al-Maidah: 6)
Perintah membasuh
kedua tangan ketika berwudlu dibatasi dengan batasan 'sampai siku, sehingga
sahnya seseorang berwudlu adalah bila telah membasuh kedua tanggannya sampai
siku, tidak boleh hanya mencuci tangan saja
4) Keadaan
Contoh yang dibatasi dengan keadaan:
ثُمَّأَتِمُّالصِّيَامَإِلَىاللَّيْلِ
"Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
malam...".(QS. Al-Baqarah: 187)
Perintah berpuasa
pada ayat diatas dibatasi sampai keadaan malam, sehingga tidak diperbolehkan
(diharamkan) puasa berkepanjangan sepanjang hari.
3. Ketentuan Mutlak dan Muqayyad
Prinsip
yang harus dipegang terhadap lafaz mutlak dan muqayyad adalah bahwa lafaz
mutlak harus tetap dipegang sesuai dengan kemutlakannya, selama tidak ada dalik
yang men-taqyid-nya (membatasinya). Demikian pula dengan lafaz muqayyad harus
dipegang sesuai dengan kemuqayyadannya. Jika ada lafaz mutlak kemudian ada
suatu dalil yang membatasinya maka yang dipakai (dipegang) adalah lafaz yang
muqayyad.
Apabila
dihubungkan antara lafaz mutlak dan muqayyad, maka keduanya akan ada ketentuan
hukumnya:
1) Sebab
dan hukumnya sama. Jika suatu lafaz memiliki persamaan dalam hak hukum dan
sifat, maka yang mutlak harus diikutkan (disesuaikan) kepada yang muqayyad
Contoh:
حُرِّمَتْعَلَيْكُمُالْمَيْتَةُوَالدَّمُوَلَحْمُالْخِنْزِيْرِ
"Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah,
daging babi...".(QS.
Al-Maidah: 3)
Lafaz 'dam' yang berarti darah yang diharamkan
dalam ayat diatas adalah mutlak. Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman:
إِلاَّأَنْيَكُوْنَمَيْتَةَأَوْدَمًامَّسْفُوْحاً
"Kecuali kalau makanan itu bangkai atau
darah yang mengalir".(QS. Al-An'am: 145)
Pada
ayat kedua ini lafaz 'dam' dibatasi oleh lafaz مصفوحا (yang mengalir).
Oleh karena sebab yang sama yakni berupa darah dan hukum yang sama yaitu haram,
maka sesuai ketentuan diatas, lafaz mutlak diikutkan kepada muqayyad. Dengan
demikian yang dikehendaki dengan darah yang haram pada surat Al-Maidah ayat 3
adalah darah yang mengalir sebagaimana tercantum dalam surat Al-An'am ayat 145.
2) Sebab
beda dan hukum sama
Bila terdapat lafaz yang seperti ini, maka ada
2 pendapat:
a. Menurut golongan Syafi'i, mutlak diikutkan
kepada muqayyad.
b. Menurut golongan Hanafiyah dan Malikiah,
mutlak tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya
Contoh:
فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍمِّنْقَبْلِأَنْيَتَمَاسّاَ
" Maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur".(QS.
Al-Mujadilah: 3)
Sementara dalam ayat lainnya, Allah berfirman:
وَمَنْقَتَلَمُؤْمِناًخَطَئًا فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍمُّؤْمِنَةٍ
"Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman".(QS. An-Nisa':
92)
Kedua
ayat diatas sama-sama menyebut lafaz رقبة yang satu dengan lafaz mutlak dan satu lagi
dengan lafaz muqayyad, keduanya memiliki hukum yang sama yaitu memerdekakan
budak. Sedangkan sebab hukumnya berbeda, surat Al-Mujadilah ayat 3 sebab
memerdekakan budak adalah karena orang yang zihar kepada istrinya. Dalam surat
An-Nisa' ayat 92 yang menjadi sebab memerdekakan budak adalah membunuh secara
tidak sengaja.
Menurut
ulama' Syafi'I, kafarat zihar hukumannya adalah memerdekakan budak yang mukmin.
Menurut ulama' Hanafiyah dan Malikiyah, kafarat zihar hukumnya memerdekakan
budak baik mukmin maupun non mukmin. Namun pendapat kedua adalah yang lebih
rajih (kuat).
3) Hukum
beda dan sebabnya sama
Contoh:
فَتَيَمَّمُوْاصَعِيْداًطَيِّباًفَامْسَحُوْابِوُجُوْهِكُمْوَأَيْدِيَكُمْ
"Maka bertayammumlah dengan tanah yang
baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu". (QS. Al-Maidah: 6)
Bandingkan dengan ayat tentang wudlu berikut
ini:
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَأّمَنُوْاإِذَاقُمْتُمْإِلَىالصَّلاَةٍفَاغْسِلُوْاوُجُوْهَكُمْوَأَيْدِيَكُمْإِلَىالْمَرَافِقِ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
siku".(QS.
Al-Maidah: 6)
Pada
kedua ayat diatas didapatkan sebab hukum yang sama yaitu menghilangkan hadas
untuk mengerjakan sholat. Namun hukum keduanya berbeda, yang pertama adalah
mengusap tangan karena tayammum, sedangkan yang kedua membasuh tangan sampai
siku karena berwudlu.
Menurut
Jumhur Syafi'iyah yang mutlak diikutkan kepada yang muqayyad. Sedangkan menurut
Malikiyah dan Hanabilah, yang mutlak tetap pada kemutlakannya, begitupun
sebaliknya yang muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
Jadi,
menurut ulama Maliki dan Hanbali mengusap tangan dalam bertayammum tidak sampai
siku, hanya pergelangan tangan saja. Menurut ulama' Syafi'i mengusap tangan
dalam tayammum adalah sampai siku berlandaskan pada dalil:
التيممضربتانضربةللوجهوضربةلليدينإلىالمرافق
"Tayammum itu ada dua kali sapuan, sekali
sapu untuk muka dan untuk kedua tangan sampai kedua siku". (HR. Imam
Daruqutni, Hakim dan Baihaqi ).
4) Sebab
dan hukum berbeda
Contoh:
وَالسَّارِقُوَالسَّارِقَةُفَاقْطَعُوْاأَيْدِيَهُمَاجَزَاءَبِمَاكَسَبَانَكَالاًمِنَاللَّهِ
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah".(QS. Al-Maidah: 38)
Dalam ayat lain:
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَأّمَنُوْاإِذَاقُمْتُمْإِلَىالصَّلاَةٍفَاغْسِلُوْاوُجُوْهَكُمْوَأَيْدِيَكُمْإِلَىالْمَرَافِقِ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku".(QS. Al-Maidah: 6)
Pada
ayat pertama, hukum yang didapat adalah potong tangan, sebabnya adalah mencuri.
Ayat kedua, sebab hukumnya adalah hendak mengerjakan sholat, hukumnya membasuh
tangan sampai siku (wudlu)
Dengan
demikian menurut ketentuan bila ada lafaz yang berbeda dalam hal sebab dan
hukum maka yang mutlak tetap pada kemutlakannya dan yang muqayyad tetap pada
kemuqayyadannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukuman potong tangan bagi
pencuri adalah tidak sampai siku.
4. Hukum Mutlak dan Muqayyad
Lafaz
mutlak tetap pada kemutlakannya selama tidak ada dalil yang men-taqyidnya. Bila
ada dalil yang men-taqyidnya maka lafaz tersebut adalah lafaz muqayyad,
seperti:
مِنْبَعْدِوَصِيَّةٍيُوْصَىبِهَاٱَوْدَيْنٍ
Lafaz وصية adalah lafaz mutlak, tidak dibatasi
berapa harta yang disedekahkan (setengah, sepertiga, atau semua), tetapi ada
dalil lain yang men-taqyidnya yaitu sabda Nabi SAW berikut:
إِنَّاللهَتَصَدَّقَعَلَيْكُمْبِثُلُثِٱَمْوَاِلِكُمْفِيْآخِرِٱَعْمَارِكُمْزِيَادَةًفِيْٱَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah mensedekahkan sepertiga
harta kalian di akhir umur kalian sebagai tambahan amal baik kalian”.
Sehingga
maksud wasiat dalam ayat diatas adalah tidak boleh lebih dari sepertiga harta
peninggalan si mayit.
BAB III
PENUTUP
Dalam
kaidah lughawiyah terdapat beberapa pembahasan, salah satunya yakni lafaz
ditinjau dari cakupan maknanya yang meliputi ‘am dan khas, mutlak dan muqayyad.
Lafaz ‘am adalah lafaz yang mencakup keseluruhan
satuan-satuannya, jadi jika disebut suatu lafaz ‘am itu berarti seluruh
satuan-satuan dari ‘am ikut didalamnya. Perbedaannya dengan lafaz khas adalah,
jika lafaz ‘am maksudnya adalah seluruh satuan yang ada di dalamnya, maka kalau
lafaz khas yang dimaksud adalah terbatas pada beberapa satuan atau sebagian
saja.
Termasuk
dari lafaz khas yakni lafaz mutlak dan muqayyad; lafaz mutlak ialah lafaz yang
menunjukkan makna suatu lafaz secara hakiki tanpa dibatasi oleh batasan tertentu.
Pembatas dari lafaz mutlak disebut dengan lafaz muqayyad, ia membatasi lafaz
mutlak dengan beberapa alat pembatas, seperti sifat, syarat, ghoyah, dan
seterusnya yang telah dijelaskan sebelumnya
Terdapat
banyak ikhtilaf dalam memahami hukum atau dilalah suatu lafaz, hal ini
berpengaruh terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh mujtahid. Perbedaan yang
lainnya adalah masalah pengamalan suatu lafaz, apakah boleh mengamalkan lafaz
‘am yang belum ditakhsis atau bagaimana mengamalkan lafaz mutlak jika terdapat
taqyidnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid. Kaidah-kaidah Pemahaman dan Pengambilan
Hukum. Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam. Edisi 10. No. 2.
Maret 2015.
Ahmad Saebani & Januri. 2009. Fiqh
Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.
Faisol, Al-Hakam. 2015. Modul Ushul wa Ushuluhu Kelas XII Jurusan
Keagamaan. Jombang: MAN Denanyar.
Khairul Umam & Achyar Aminudin. 2010. Ushul Fiqh II.
Bandung: Pustaka Setia
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta:
Rineka Cipta.
Muhammad Amin Shahib.. “Lafaz Ditinjau dari Segi
Cakupannya”. Jurnal Hukum Diktum. Vol. 14. No. 2, Desember 2016.
Romli. 2014. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta:
Prenada Kencana Media Group.
Tharaba, Fahim.2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’I:
Filsafat Hukum Islam. Malang: CV Dream Litera Buana.
Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul Fiqh al-Islami. Damsyiq:
Dar al-Fikr.