Monday, November 25, 2019

Makalah ushul fiqih istisan, maslahah, dan 'urf


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Sumber hukum yang diperselishkan ulama merupakan buah dari pemikiran para ahli yang sudah mempelajari dan mendalami suatu permasalahan yang ada, namun para  ulama tentunya memiliki argumen yang berbeda menurut sudut pandang mereka masing-masing.
Sebelum menuju sumber hukum yang diperselisihkan, ada baiknya kita mengetahui klasifikasi sumber hukum fiqih. Berdasarkan sudut pandang kesepakatan ulama, klasifikasi sumber hukum fiqih dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1.      Sumber hukum yang di sepakati seluruh ulama. Yang menempati kedudukan ini adalah Al Qur’an dan As Sunnah.
2.      Sumber hukum yang di sepakati mayoritas (jumhur) ulama. Yang menempati kedudukan ini adalah Ijma’ dan Qiyas.
3.      Sumber hukum yang menjadi perdebatan para ulama. Yang menempati kedudukan ini adalah ‘urf (kebiasaan), istishab (pemberian hukum berdasarkan keberadaannya pada masa lampau), istishan (anggapan baik tentang suatu hukum), maslahah mursalah (pencetusan hukum berdasarkan prinsip kemaslahatan bersama), dan lain sebagainya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Sumber hukum Islam yang diperselisihkan.
2.      Macam – macam sumber hukum Islam yang dipeselisihkan.

C.      Tujuan Pembahasan
1.      Memahami sumber hukum islam yang diperselisihkan.
2.      Mengetahui macam – macam sumber hukum islam yang diperselisihkan.










BAB II
PEMBAHASAN


A.    Istishan (Anggapan Baik Tentang Suatu Hukum)
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:
a)      Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I: 137, “Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”.
b)      Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “Istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena ada dalil tertentu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c)      Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam mazhab Al-Maliki berkata, “Istihsan ialah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global”..
d)      Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa Istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain.

  1. Macam-macam Istihsan
Ulama Hanafiyyah membagi istihsan kepada enam macam, yaitu:
a)             Istihsan bi al Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadits)

Maksudnya, ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Misal istihsan dengan Sunnah Rasul adalah dalam kasus orang makan dan minum karena lupa keika ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum, puasa orang ini batal karena ia telah memasukan sesuatu ke dalam kerongkongannya. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh hadits Rasulullah SAW. yang mengatakan bahwa: “Siapa yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya.” (H.R al-Tirmidzi)

b)             Istihsan bi al-Ijma’ (istihsan yang didasarkan kepada ijma’).
 Misalnya adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.


c)             Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi).

Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jalliy (qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad.
d)         Istihsan bi al-Mashlahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan).
Misalnya ulama Malikiyah mencontohkannya dengan kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum, seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya, maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat padanya.
e)         Istihsan bi al-‘Urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
            Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak air dan lama pemandian itu digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air yang dipakai.
f)        Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).
Artinya, ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air, sulit untuk dikeringkan. Akan tetapi, ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air ke dalam sumur itu, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapat kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.

2.      Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’.Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Dan Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki. Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabillah juga mengakui adanya istihsan.
Jadi, menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagai ulama Hanabillah, istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a)      Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2: 185, yang artinya “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu.”
Dalam surat al-Zumar,39: 55 Allah berfirman yang artinya,
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunan kepadamu dari Tuhanmu”
b)      Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik.” (H.R Ahmad ibn Hambal)


B.     Mashlahah Mursalah (Kemaslahatan Bersama)
Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologi, menurut Imam Ghazali, mashlahah ialah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. 
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut menurut Imam Ghazali ada lima bentuk, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan mashlahah.
Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahah.Dengan demikian maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Sedangkan alasan dikatakan mursalah, karena syara’ memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.

1.      Macam-macam Mashlahah
Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mashlahah jika dilihat dari beberapa segi. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:
a.       Mashlahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang beerhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima kemaslahatan ini disebut disebut dengan a-lmashlahah al-khamsah.
  1. Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemashlahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi musafir.
  2. Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan makanan yang bergizi.

Dilihat dari segi kandungan mashlahah, para ulam ushul fiqh membaginya kepada:
a.       Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
  1. Mashlahah al-Khashshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemashlahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkwinan seseorangyang dinyatakan hilang (maqfud).

2.      Kehujahan Mashlahah
Golongan Maliky sebagai pembawa bendera mashlahah mursalah, mengemukakan alasannya, yaitu seperti praktek para sahabat yang telah menggunakan mashlahah mursalah, di antaranya sahabat mengumpulkan al-Qur’an ke dalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka melakukan pengumpulan itu tidak lain kecuali semata-mata karena maslahat, yaitu menjaga al-Qur’an dari kepunahan karena meninggalkannya sejumlah besar hafidh dari generasi sahabat.

Adapun alasan dari golongan yang tidak memakai dalil maslahat, dapat teringkas diantaranya sebagai berikut, mashlahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan nafsu dan cenderung mencari keenakan, dan mereka juga beralasan seandainya memakai maslahat sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri, niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan negara, bahkan perbedaan perorangan dalam suatu perkara.







C.    ‘Urf (Kebiasaan)
‘Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
·         Ditinjau dari bentuknya ada dua macam, yaitu
a)         Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan.
b)         Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
·         Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a)      Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat diterima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’
b)      Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara.
·         Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a)      Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang.
b)      Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
·         Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam:
a)      Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b)      Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
c)      Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.

Kehujjahan ’Urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Berdasarkan uraian di atas, sumber hukum islam yang di perselisihkan ulama diantaranya yaitu :
1.      Istishan (Anggapan baik tentang suatu hukum), yakni menghitung hitung sesuatu dan menganggapnya baik.
2.      Maslahah Mursalah (Kemaslahatan bersama), yakni mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan syara’.
3.      ‘Urf (Kebiasaan), yakni sesuatu yang sudah di kenal oleh manusia dan dijadikan tradisi.

















DAFTAR PUSTAKA

di akses pada 09/10/2019 22:12
di akses pada 09/10/2019 22:22


Makalah Media komunikasi

BAB   I PENDAHULUAN A.    Latar belakang Dalam kehidupan manusia tidak lepas dari komunikasi  baik itu perorangan atau kelompok. Hal...