PEMBAHASAN
Taksonomi Filosofis Mengenai Praktik Manajemen yang Baik
Gambar 1.
Dasar Epistemologis dan Ontologis dari
Proposisi Manajemen yang Baik
Epistemologi
|
||||||||
Naturalisme
|
Hermeneutik
|
|||||||
Naturalis Strukturalisme
|
Hermeneutik Strukturalisme
|
|||||||
Ontologi
|
Strukturalisme
|
Menganggap bahwa dunia sosial
|
Menganggap bahwa dunia sosial
|
|||||
perilaku manusia dapat diprediksi.
|
diprediksi dan dapat ditentukan.
|
|||||||
yang bersifat objektif dapat
|
yang bersifat subjektif diketahui
|
|||||||
diketahui dengan metode ilmiah
|
hanya sebagai bentukan
|
|||||||
dimana struktur menjalankan
|
masyarakat dengan melihat
|
|||||||
kekuatan melalui agen, sehingga
|
perilaku mereka yang dapat
|
|||||||
“Manajemen Proses”
|
“Manajemen
Inklusi/keterlibatan”
|
|||||||
Naturalis Agensi
|
Hermeneutik Agensi
|
|||
Menganggap bahwa dunia sosial
|
Menganggap bahwa dunia sosial
|
|||
yang bersifat objektif dapat
|
yang bersifat subjektif dapat
|
|||
Agensi
|
diketahui dengan metode ilmiah
|
diketahui melalui apa yang orang-
|
||
dimana orang-orang sebagai agen
|
orang percaya dengan adanya
|
|||
dari tindakan mereka dengan
|
pembatasan pada persepsi mereka
|
|||
perilaku mereka yang dapat
|
sehingga perilaku mereka dapat
|
|||
diprediksi dengan tidak membatasi
|
diprediksi.
|
|||
kepentingan mereka.
|
||||
“Manajemen Hasil”
|
“Manajemen Keberlangsungan”
|
|||
(Dixon, J. and Dogan, R., 2003)
Pada Gambar 1.
menunjukkan pengelompokan metodologis yang mendukung terbentuknya kerangka
koheren yang mengintegrasikan filsafat, metode riset, praktik, dan perilaku
dalam manajemen. Pada bagian predisposisi terdiri dari bentuk-bentuk penalaran
dan bagian nomologi terdiri dari asumsi-asumsi mengenai bagaimana kecenderungan
orang untuk berperilaku dalam situasi tertentu. Setiap bagian memberikan arahan
bagaimana pengelolaan manajemen organisasi yang baik. Namun demikian pemikiran
filosofis ini tentu tidak selalu sempurna. Manajer yang dalam pengelolaan
organisasinya menggunakan pola diluar kerangka epistemologi baik naturalis
maupun hermeneutik akan menggunakan pola lain dari kerangka epistemologi yang
ditawarkan. Demikian juga ketika para manajer tidak sesuai dengan kerangka
ontologi baik strukturalis maupun agensi akan menggunakan pola lain dari
kerangka ontologi yang ditawarkan.
Manajer akan menggunakan
pola-pola yang disesuaikan dengan kondisi organisasi yang memiliki latar
belakang berbeda-beda baik dari kultur, adat istiada, aturan, dan model
manajemen. Penyesuaian pola tentunya diharapkan dapat menciptakan organisasi
yang unggul dan mudah dijalankan serta diterima oleh anggota organisasi.
Perspektif Naturalist Agency
Manajer cenderung
menggunakan pola naturalist agency
dalam mengelola organisasi yang berorientasi pada kewirausahaan (Mintzberg,
1989), terutama para manajer yang fokus pada hasil ahir. Manajer menggunakan
pola ini karena sifat organisasi (perusahan) sangat dasar dimana hasil (outcome/output) merupakan inti dari ahir
sebuah tujuan. Selain itu, organisasi ini juga belum rumit dalam struktur
organisasinya, cenderung belum formal, dan belum dilakukan sentralisasi
didalamnya. Dalam matrik pembuatan keputusan stratejik yang dicetuskan oleh
Thomson (1967), para manajer cenderung akan menilai keberhasilan organisasi
dengan melihat nilai saja dan tidak menghiraukan penyebab terjadinya hasil
tersebut (tidak melihat bagaimana proses pencapain hasil).
Manajer penganut
aliran naturalist agency memiliki
gaya kepemimpinan developer (pembangun)
(Nichols, 1986) dengan menggunakan sistem manajemen konsultatif dimana pola yang dikembangkan adalah hubungan yang
rendah antar anggota organisasi dan perilaku penugasan yang rendah pula
(Likert, 1967). Dalam gaya kepemimpinan ini, seorang manajer hanya akan
memberikan batasan tujuan kemudian keputusan pelaksanaan akan banyak dilakukan
oleh anggota organisasi tentunya dengan mengindahkan hak dan wewenang yang
dimiliki masing-masing anggota. Otonomi tugas yang diberikan kepada para
anggota akan memberi ruang kebebasan dalam berkreasi dan pengambilan keputusan
namun tetap ada pertanggungjawabannya.
Perspektif Naturalist Structuralist
Manajer dengan
kecenderungan mengikuti gaya naturalist
stucturalist akan mengelola organisasi dengan pola birokratis (Weber, 1947)
dimana perhatian utama pada input dan proses dalam mencapai tujuan organisasi.
Berbanding terbalik dengan naturalist
agency, perspektif naturalist structuralist menekankan
pada mekanisme struktur yang ketat dan
komplek, formalitas dan sentralisasi yang tinggi. Dalam model perspektif ini,
manajer memastikan bahwa organisasi dapat dikelola secara terpusat dengan tugas
anggota yang lebih spesifik, menjaga ketertiban, dan memiliki kesatuan serta
kontrol yang baik. Model
9
top-down management sangat
kental dalam perspektif ini sehingga anggota dapat diarahkan lebih mudah dalam mencapai tujuan organisasi dengan
keloyalan yang tinggi.
Manajer akan
menganggap organisasi telah berjalan dengan baik jika proses dalam menjalankan
organisasi sudah sesuai dengan aturan dan kepatuhan karyawan juga baik. Proses
administrasi akan diawasi dengan sangat ketat dan jelas pembagian tugas
masing-masing anggota organisasi. Hal ini dapat dilakukan karena perilaku
manusia mudah diprediksi jika telah dibatasi aturan-aturan yang mengikat.
Gaya kepemimpinan
manajer pada perspektif ini adalah gaya kepemimpinan parental (Nichols, 1986). Kepemimpinan parental lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang
kebapakan dengan sifat-sifat sebagai berikut: (1) mereka menganggap bawahannya
sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu
dikembangkan, (2) mereka bersikap terlalu melindungi, (3) mereka jarang
memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri, (4)
mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk
berinisiatif, (5) mereka memberikan atau hampir tidak pernah memberikan
kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya
kreativitas mereka sendiri, (6) selalu bersikap maha tahu dan maha benar.
Perspektif Hermeneutic Agency
Dalam perspektif hermeneutic agency, manajer akan
mengelola organisasi dengan melembagakan struktur birokrasi dengan perhatian
utama pada input dan proses (Morgan, 1986). Karakteristik dari perspektif ini
adalah kerjasama yang sangat rendah dan aturan organisasi yang mengikat dan
ketat. Struktur birokrasi akan memungkinkan adanya pengelolaan organisasi
dengan kompleksitas, formalitas, dan sentralisasi yang tinggi. Manajer memegang
peranan sangat kuat karena pengambilan keputusan dilakukan dengan kurang
melibatkan anggota dalam organisasi.
Gaya kepemimpinan
yang sesuai bagi manajer penganut hermeneutic
agency adalah gaya driver
(penggerak) (Nichols, 1986) dengan sistem manajemen eksploitatif otoriter
(Likert, 1967). Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan adanya hubungan anggota
organisasi yang rendah namun perilaku penugasan yang tinggi. Manajer memberikan
tugas yang spesifik pada karyawan dengan melakukan pengawasan yang sangat
ketat. Kepemimpinan yang dominan ini memberi ruang bagi manajer untuk melakukan
pengelolaan organisasi dengan menekankan pada kekuatan jabatan.
10
Manajer penganut
perspektif hermeneutic structuralist
akan mengelola organisasi dengan berorientasi misionaris (Mintzberg, 1989). Perhatian
utama adalah pada proses yang dilakukan dalam mencapai tujuan. Kecenderungan
para manajer ini selalu memastikan bahwa organisasi yang mereka pimpin memiliki
struktur dasar yang ditandai dengan kompleksitas, formalitas, dan sentralisasi
yang rendah sehingga para anggota organisasi dapat mendesain pekerjaan mereka
sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Dengan kerangka kerja seperti ini
akan mempermudah dalam pengambilan keputusan karena dilakukan bersama secara
harmonis. Dalam matrik pengambilan keputusan stratejik Thomson (1967), model
ini masuk dalam kategori pengambilan keputusan kompromi dimana manajer melihat
keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dilihat dari sisi sebab akibat.
Manajemen akan
dianggap berhasil dilakukan jika manajer terlibat dalam pencapaian hasil.
Manajer akan mendorong para anggota organisasi atau bahkan masyarakat umum dan
organisasi terkait lain untuk bekerja sama dalam pencapaian tujuan karena ada
kemungkinan mereka juga memiliki pengaruh baik langsung maupun tidak langsung.
Gaya kepemimpinan
yang sesuai dengan manajer penganut hermeneutic
structuralist adalah gaya coach (pelatih) (Nichols, 1967) dengan
sistem manajemen partisipasi kelompok
dengan ditandai adanya hubungan antara manajer anggota yang tinggi namun pola
perilaku tugas yang rendah (Likert, 1967). Dalam gaya kepemimpinan ini akan
tercipta hubungan yang erat antar anggota dan rendahnya konflik. Hal ini
dikarenakan manajer memfasilitasi individu dalam pengambilan keputusan
organisasi.
Kondisi Filosofis yang Koheren dalam
Praktik Manajemen
Pemahaman filosofis
bagi manajer dalam menjalankan organisasi dengan menggunakan perspektif
epistemologi dan ontologi sering mengalami kendala dan tidak bisa dilakukan
secara koheren sehingga diperlukan pemahaman perspektif lain yang dapat menjadi
pelengkap ilmu bagi para manajer. Dalam penggunaan perspektif epistemologi
(naturalisme dan hermeneutika) dan ontologi (strukturalis dan agensi) yang
tidak sesuai dengan praktik manajemen, terdapat rerangka yang filosofis dan
metodologis dari Bhaskar (1998) yaitu dengan menggunakan sintesis realisme
transendental dan Archer (1995) dengan menggunakan sintesis strukturasi.
11
Realisme transendental (Bhaskar, 1998) membuat sebuah sintesis epistemologi dengan menggunakan hubungan sebab
akibat sebagai dasar untuk mengungkapkan suatu kejadian pada dunia nyata
(praktik). Dasar penggunaan perspektif ini yang pertama bahwa dalam praktik
dijalankan pada tiga tingkatan yaitu aktual (adanya peristiwa), empiris (sifat
dari peristiwa) dan kedalaman (proses yang mendasari peristiwa). Kedua bahwa
dunia praktik merupakan akumulasi dari proses yang berbasis model imajinatif
hermeneutia dimana pengetahuan akan digunakan untuk mendalilkan mekanisme sebab
akibat dari hipotesis yang ada. Strukturasi
sintesis ontologis (Archer, 1995) merupakan perspektif ontologis sebagai
upaya untuk menengahi adanya perselisihan strukturalis dan agensi.
Pertentangannya adalah apakah agensi dan struktur social saling ketergantungan?
Atau saling bergantung namun berbeda? Artinya bahwa struktur sosial merupakan
sebab dan konsekuensi adanya agensi (lembaga).
Aplikasi dalam
organisasi mengenai adanya perspektif pendukung dalam pemahaman manajer pada
epistemologi dan ontlogi yaitu dengan melihat sebab akibat dari suatu peristiwa
yang terjadi dalam organisasi. Menganalisis proses dan membuat generalisasi
empiris tentang penyebab terjadinya masalah sehingga akan muncul hipotesis
awal. Seorang manajer harus terlibat langsung bersama dengan karyawan dalam
menangani masalah dengan menganalisis faktor-faktor penyebab baik internal
maupun eksternal sehingga penafsiran masalah akan lebih tepat dan mudah
menyelesaikannya. Pemahaman dan kemampuan mengidentifikasi masalah dalam
organisasi merupakan bentuk dari kemampuan manajer dalam mengembangkan konsep
dan perspektif yang terdapat dalam kajian filsafat yang akan memudahkan dalam
pengembangan organisasi.
Implikasi dalam Praktik Manajemen
Dalam dunia
keorganisasian yang semakin komplek permasalahnya menuntut seorang manajer
untuk dapat memahami filosofis manajemen sehingga dapat megetahui kecenderungan
dirinya dan orang lain dalam konteks perspektif epistemologi dan ontologi.
Pemahaman ini dapat digunakan oleh manajer untuk meningkatkan kinerja dan
memahami model manajemen yang baik dengan proposisi sebagai berikut:
Pertama, manajer yang
baik akan mengenali keterbatasan dua dimensi dalam organisasi yaitu dimensi
kognitif rasional obyektif dan dimensi komunikatif rasional (makna normatif)
dalam organisasi baik secara teoritis maupun realitas. Pemahaman ini sangat
diperlukan bagi manajer untuk menyelesaikan konflik yang sering muncul dalam
12
Kedua, manajer yang
baik tidak akan memiliki kekakuan dalam memilih pola pengelolaan organisasi dan
tidak memiliki sikap arogan dengan menganggap bahwa semua masalah dapat
terselesekan tanpa bantuan orang lain. Manajer harus peka terhadap penyebab
suatu masalah yang timbul dengan siap dengan solusi dan konsekuensi.
Keterlibatan seorang manajer dalam setiap lini sangat diperlukan sehingga
tujuan organisasi bias terawasi dengan baik.
Ketiga, manajer yang
baik akan dapat memahami dan mampu mengevaluasi mengenai perspektif
epistemologi dan ontologi. Seorang manajer yang baik tidak akan menghindar jika
pola yang diterapkan lebih buruk dari konsep yang ditawarkan dengan pendekatan
epistemologi dan ontologi dan termotivasi untuk memperbaiki. Penerimaan akan
konstruksi baru yang lebih baik akan menigkatkan kmampuan seorang manajer dalam
mengimplementasikan strategi serta memiliki toleransi yang tinggi dalam
menghadapi konflik organisasi.
SIMPULAN
Empat perspektif dari
bentukan epistemologi dan ontologi memberikan rerangka bagi manajemen untuk
mengetahui bagaimana mereka bertindak sebagai pengelola sebuah organisasi.
Perspektif ini sebagai bentuk dasar penalaran manajer dalam bertindak dan
bagaimana menilai perilaku individu dalam organisasi.
Manajemen akan
dianggap baik jika telah dikonfrontasikan dengan berbagai pola yang sudah
dianggap ideal. Dalam pelaksanaan manajemen yang baik menuntut manajer untuk mengakui dan menyadari apabila pola yang dilakukan tidak
sesuai dan belum ideal setelah dikonfrontasikan dengan pola-pola lain. Manajer terlibat
diskusi dengan para penganut pola pengelolaan organisasi yang berbeda dengan
pola yang selama ini digunakan, sehingga terjadi koreksi ketika perlu adanya
pembenahan bahkan penggantian sistem lama. Dan terakhir, manajer juga harus
memahami teori-teori yang ada sehingga dapat membandingkan dengan komprehensif
dan akan dapat menerima standar terbaik dalam penggunaan model pengelolaan
organisasi.
13
Archer, M.S. 1996.
“Social integration and system integration: developing the distinction”,
Sociology, Vol. 30 No. 4, pp. 679-99.
Bhaskar, R. 1998. The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique
of the Contemporary Human Sciences, 3rd ed., Routledge, London.
Dixon, J. 2002.
Responses to Governance: Governing Corporations, Societies and the World. Praeger,
Westport, CT.
Dixon, J. and Dogan,
R. 2002. Hierarchies, Networks and Markets: Responses to Societal Governance
Failures, Administrative Theory and Praxis. Vol. 24 No. 1, pp. 175-96.
Dixon, J. and Dogan,
R. 2003. A Philosophical Investigation of Corporate Governance Failure. The Journal of The Philosophy of Management,
Forth Coming.
Gabriele Lakomski,
Colin W. Evers, 2011, Analytic Philosophy and Organization Theory:
Philosophical Problems and Scientific Solutions, Research in the Sociology of
Organizations. Vol. 32 pp. 23-54
Hollis, M. 1994. The Philosophy of Social Science, Cambridge University
Press, Cambridge.
John Dixon, Rhys
Dogan, 2003. Corporate Decision Making: Contending Perspectives and Their
Governance Implications, Corporate Governance. The International Journal of Business
in Society. Vol. 3 Iss 1 pp. 39-57
Judistira, Garna K. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: Judistira Garna Foundation dan Primaco
Akademika.
Likert, R. 1967. The
Human Organization: Its Management and Value, McGraw-Hill, New York, NY.
Nichols, J.R. 1986.
“Congruent Leadership”, Leadership & Organization Development Journal. Vol.
7 No. 1, pp. 27-31.
Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Salmon, Merrilee, John Earman, Clark Glymour, James G. Lenno, Peter Machamer, J.E.
McGuire, John D. Norton, Wesley C. Salmon, Kenneth F. Schaffner.
1992.
Introduction to the Philosophy of Science. USA: Prentice-Hall.
Santoso, Heri dan
Listiyono Santoso. 2003. Filsafat Ilmu Sosial. Yogyakarata: Gama Media.
Susanto, Astrid S. 1976. Filsafat Komunikasi. Bandung: Bina Cipta.
Thompson, J.D. 1967. Organizations in Action. McGraw-Hill, New
York, NY.
14
Trevor H. Maddock.
1994. Three Dogmas of Materialist Pragmatism: A Critique of a Recent Attempt to
Provide a Science of Educational Administration. Journal of Educational
Administration. Vol. 32 Iss 4 pp. 5-27
Weber, M. 1947. The
Theory of Social and Economic Organization, (trans. Henderson, A.M. andParsons,
T.) (originally published in 1915). Free Press, New York, NY.
17