Monday, November 11, 2019

Pembahasan tentang Taksonomi Filosofis Mengenai Praktik Manajemen yang Baik


PEMBAHASAN

Taksonomi Filosofis Mengenai Praktik Manajemen yang Baik


Gambar 1.
Dasar Epistemologis dan Ontologis dari Proposisi Manajemen yang Baik






Epistemologi





















Naturalisme

Hermeneutik















Naturalis Strukturalisme

Hermeneutik Strukturalisme

Ontologi

Strukturalisme

Menganggap bahwa dunia sosial

Menganggap bahwa dunia sosial



perilaku manusia dapat diprediksi.

diprediksi dan dapat ditentukan.





yang bersifat objektif dapat

yang bersifat subjektif diketahui





diketahui dengan metode ilmiah

hanya  sebagai bentukan





dimana struktur menjalankan

masyarakat dengan melihat





kekuatan melalui agen, sehingga

perilaku mereka yang dapat





Manajemen Proses

Manajemen Inklusi/keterlibatan














Naturalis Agensi
Hermeneutik Agensi






Menganggap bahwa dunia sosial
Menganggap bahwa dunia sosial



yang bersifat objektif dapat
yang bersifat subjektif dapat


Agensi
diketahui dengan metode ilmiah
diketahui melalui apa yang orang-


dimana orang-orang sebagai agen
orang percaya dengan adanya


dari tindakan mereka dengan
pembatasan pada persepsi mereka






perilaku mereka yang dapat
sehingga perilaku mereka dapat



diprediksi dengan tidak membatasi
diprediksi.



kepentingan mereka.




Manajemen Hasil
Manajemen Keberlangsungan






(Dixon, J. and Dogan, R., 2003)

Pada Gambar 1. menunjukkan pengelompokan metodologis yang mendukung terbentuknya kerangka koheren yang mengintegrasikan filsafat, metode riset, praktik, dan perilaku dalam manajemen. Pada bagian predisposisi terdiri dari bentuk-bentuk penalaran dan bagian nomologi terdiri dari asumsi-asumsi mengenai bagaimana kecenderungan orang untuk berperilaku dalam situasi tertentu. Setiap bagian memberikan arahan bagaimana pengelolaan manajemen organisasi yang baik. Namun demikian pemikiran filosofis ini tentu tidak selalu sempurna. Manajer yang dalam pengelolaan organisasinya menggunakan pola diluar kerangka epistemologi baik naturalis maupun hermeneutik akan menggunakan pola lain dari kerangka epistemologi yang ditawarkan. Demikian juga ketika para manajer tidak sesuai dengan kerangka ontologi baik strukturalis maupun agensi akan menggunakan pola lain dari kerangka ontologi yang ditawarkan.

Manajer akan menggunakan pola-pola yang disesuaikan dengan kondisi organisasi yang memiliki latar belakang berbeda-beda baik dari kultur, adat istiada, aturan, dan model manajemen. Penyesuaian pola tentunya diharapkan dapat menciptakan organisasi yang unggul dan mudah dijalankan serta diterima oleh anggota organisasi.


Perspektif Naturalist Agency

Manajer cenderung menggunakan pola naturalist agency dalam mengelola organisasi yang berorientasi pada kewirausahaan (Mintzberg, 1989), terutama para manajer yang fokus pada hasil ahir. Manajer menggunakan pola ini karena sifat organisasi (perusahan) sangat dasar dimana hasil (outcome/output) merupakan inti dari ahir sebuah tujuan. Selain itu, organisasi ini juga belum rumit dalam struktur organisasinya, cenderung belum formal, dan belum dilakukan sentralisasi didalamnya. Dalam matrik pembuatan keputusan stratejik yang dicetuskan oleh Thomson (1967), para manajer cenderung akan menilai keberhasilan organisasi dengan melihat nilai saja dan tidak menghiraukan penyebab terjadinya hasil tersebut (tidak melihat bagaimana proses pencapain hasil).

Manajer penganut aliran naturalist agency memiliki gaya kepemimpinan developer (pembangun) (Nichols, 1986) dengan menggunakan sistem manajemen konsultatif dimana pola yang dikembangkan adalah hubungan yang rendah antar anggota organisasi dan perilaku penugasan yang rendah pula (Likert, 1967). Dalam gaya kepemimpinan ini, seorang manajer hanya akan memberikan batasan tujuan kemudian keputusan pelaksanaan akan banyak dilakukan oleh anggota organisasi tentunya dengan mengindahkan hak dan wewenang yang dimiliki masing-masing anggota. Otonomi tugas yang diberikan kepada para anggota akan memberi ruang kebebasan dalam berkreasi dan pengambilan keputusan namun tetap ada pertanggungjawabannya.


Perspektif Naturalist Structuralist

Manajer dengan kecenderungan mengikuti gaya naturalist stucturalist akan mengelola organisasi dengan pola birokratis (Weber, 1947) dimana perhatian utama pada input dan proses dalam mencapai tujuan organisasi. Berbanding terbalik dengan naturalist agency, perspektif naturalist structuralist menekankan pada mekanisme struktur yang ketat dan komplek, formalitas dan sentralisasi yang tinggi. Dalam model perspektif ini, manajer memastikan bahwa organisasi dapat dikelola secara terpusat dengan tugas anggota yang lebih spesifik, menjaga ketertiban, dan memiliki kesatuan serta kontrol yang baik. Model


9


top-down management sangat kental dalam perspektif ini sehingga anggota dapat diarahkan lebih mudah dalam mencapai tujuan organisasi dengan keloyalan yang tinggi.

Manajer akan menganggap organisasi telah berjalan dengan baik jika proses dalam menjalankan organisasi sudah sesuai dengan aturan dan kepatuhan karyawan juga baik. Proses administrasi akan diawasi dengan sangat ketat dan jelas pembagian tugas masing-masing anggota organisasi. Hal ini dapat dilakukan karena perilaku manusia mudah diprediksi jika telah dibatasi aturan-aturan yang mengikat.

Gaya kepemimpinan manajer pada perspektif ini adalah gaya kepemimpinan parental (Nichols, 1986). Kepemimpinan parental lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang kebapakan dengan sifat-sifat sebagai berikut: (1) mereka menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, (2) mereka bersikap terlalu melindungi, (3) mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri, (4) mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif, (5) mereka memberikan atau hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut atau bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan daya kreativitas mereka sendiri, (6) selalu bersikap maha tahu dan maha benar.


Perspektif Hermeneutic Agency

Dalam perspektif hermeneutic agency, manajer akan mengelola organisasi dengan melembagakan struktur birokrasi dengan perhatian utama pada input dan proses (Morgan, 1986). Karakteristik dari perspektif ini adalah kerjasama yang sangat rendah dan aturan organisasi yang mengikat dan ketat. Struktur birokrasi akan memungkinkan adanya pengelolaan organisasi dengan kompleksitas, formalitas, dan sentralisasi yang tinggi. Manajer memegang peranan sangat kuat karena pengambilan keputusan dilakukan dengan kurang melibatkan anggota dalam organisasi.

Gaya kepemimpinan yang sesuai bagi manajer penganut hermeneutic agency adalah gaya driver (penggerak) (Nichols, 1986) dengan sistem manajemen eksploitatif otoriter (Likert, 1967). Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan adanya hubungan anggota organisasi yang rendah namun perilaku penugasan yang tinggi. Manajer memberikan tugas yang spesifik pada karyawan dengan melakukan pengawasan yang sangat ketat. Kepemimpinan yang dominan ini memberi ruang bagi manajer untuk melakukan pengelolaan organisasi dengan menekankan pada kekuatan jabatan.


10


Perspektif Hermeneutic Structuralist

Manajer penganut perspektif hermeneutic structuralist akan mengelola organisasi dengan berorientasi misionaris (Mintzberg, 1989). Perhatian utama adalah pada proses yang dilakukan dalam mencapai tujuan. Kecenderungan para manajer ini selalu memastikan bahwa organisasi yang mereka pimpin memiliki struktur dasar yang ditandai dengan kompleksitas, formalitas, dan sentralisasi yang rendah sehingga para anggota organisasi dapat mendesain pekerjaan mereka sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Dengan kerangka kerja seperti ini akan mempermudah dalam pengambilan keputusan karena dilakukan bersama secara harmonis. Dalam matrik pengambilan keputusan stratejik Thomson (1967), model ini masuk dalam kategori pengambilan keputusan kompromi dimana manajer melihat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dilihat dari sisi sebab akibat.

Manajemen akan dianggap berhasil dilakukan jika manajer terlibat dalam pencapaian hasil. Manajer akan mendorong para anggota organisasi atau bahkan masyarakat umum dan organisasi terkait lain untuk bekerja sama dalam pencapaian tujuan karena ada kemungkinan mereka juga memiliki pengaruh baik langsung maupun tidak langsung.

Gaya kepemimpinan yang sesuai dengan manajer penganut hermeneutic structuralist adalah gaya coach (pelatih) (Nichols, 1967) dengan sistem manajemen partisipasi kelompok dengan ditandai adanya hubungan antara manajer anggota yang tinggi namun pola perilaku tugas yang rendah (Likert, 1967). Dalam gaya kepemimpinan ini akan tercipta hubungan yang erat antar anggota dan rendahnya konflik. Hal ini dikarenakan manajer memfasilitasi individu dalam pengambilan keputusan organisasi.


Kondisi Filosofis yang Koheren dalam Praktik Manajemen

Pemahaman filosofis bagi manajer dalam menjalankan organisasi dengan menggunakan perspektif epistemologi dan ontologi sering mengalami kendala dan tidak bisa dilakukan secara koheren sehingga diperlukan pemahaman perspektif lain yang dapat menjadi pelengkap ilmu bagi para manajer. Dalam penggunaan perspektif epistemologi (naturalisme dan hermeneutika) dan ontologi (strukturalis dan agensi) yang tidak sesuai dengan praktik manajemen, terdapat rerangka yang filosofis dan metodologis dari Bhaskar (1998) yaitu dengan menggunakan sintesis realisme transendental dan Archer (1995) dengan menggunakan sintesis strukturasi.


11


Realisme transendental (Bhaskar, 1998) membuat sebuah sintesis epistemologi dengan menggunakan hubungan sebab akibat sebagai dasar untuk mengungkapkan suatu kejadian pada dunia nyata (praktik). Dasar penggunaan perspektif ini yang pertama bahwa dalam praktik dijalankan pada tiga tingkatan yaitu aktual (adanya peristiwa), empiris (sifat dari peristiwa) dan kedalaman (proses yang mendasari peristiwa). Kedua bahwa dunia praktik merupakan akumulasi dari proses yang berbasis model imajinatif hermeneutia dimana pengetahuan akan digunakan untuk mendalilkan mekanisme sebab akibat dari hipotesis yang ada. Strukturasi sintesis ontologis (Archer, 1995) merupakan perspektif ontologis sebagai upaya untuk menengahi adanya perselisihan strukturalis dan agensi. Pertentangannya adalah apakah agensi dan struktur social saling ketergantungan? Atau saling bergantung namun berbeda? Artinya bahwa struktur sosial merupakan sebab dan konsekuensi adanya agensi (lembaga).

Aplikasi dalam organisasi mengenai adanya perspektif pendukung dalam pemahaman manajer pada epistemologi dan ontlogi yaitu dengan melihat sebab akibat dari suatu peristiwa yang terjadi dalam organisasi. Menganalisis proses dan membuat generalisasi empiris tentang penyebab terjadinya masalah sehingga akan muncul hipotesis awal. Seorang manajer harus terlibat langsung bersama dengan karyawan dalam menangani masalah dengan menganalisis faktor-faktor penyebab baik internal maupun eksternal sehingga penafsiran masalah akan lebih tepat dan mudah menyelesaikannya. Pemahaman dan kemampuan mengidentifikasi masalah dalam organisasi merupakan bentuk dari kemampuan manajer dalam mengembangkan konsep dan perspektif yang terdapat dalam kajian filsafat yang akan memudahkan dalam pengembangan organisasi.


Implikasi dalam Praktik Manajemen

Dalam dunia keorganisasian yang semakin komplek permasalahnya menuntut seorang manajer untuk dapat memahami filosofis manajemen sehingga dapat megetahui kecenderungan dirinya dan orang lain dalam konteks perspektif epistemologi dan ontologi. Pemahaman ini dapat digunakan oleh manajer untuk meningkatkan kinerja dan memahami model manajemen yang baik dengan proposisi sebagai berikut:

Pertama, manajer yang baik akan mengenali keterbatasan dua dimensi dalam organisasi yaitu dimensi kognitif rasional obyektif dan dimensi komunikatif rasional (makna normatif) dalam organisasi baik secara teoritis maupun realitas. Pemahaman ini sangat diperlukan bagi manajer untuk menyelesaikan konflik yang sering muncul dalam


12


organisasi sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi anggota organisasi dalam bekerja.


Kedua, manajer yang baik tidak akan memiliki kekakuan dalam memilih pola pengelolaan organisasi dan tidak memiliki sikap arogan dengan menganggap bahwa semua masalah dapat terselesekan tanpa bantuan orang lain. Manajer harus peka terhadap penyebab suatu masalah yang timbul dengan siap dengan solusi dan konsekuensi. Keterlibatan seorang manajer dalam setiap lini sangat diperlukan sehingga tujuan organisasi bias terawasi dengan baik.

Ketiga, manajer yang baik akan dapat memahami dan mampu mengevaluasi mengenai perspektif epistemologi dan ontologi. Seorang manajer yang baik tidak akan menghindar jika pola yang diterapkan lebih buruk dari konsep yang ditawarkan dengan pendekatan epistemologi dan ontologi dan termotivasi untuk memperbaiki. Penerimaan akan konstruksi baru yang lebih baik akan menigkatkan kmampuan seorang manajer dalam mengimplementasikan strategi serta memiliki toleransi yang tinggi dalam menghadapi konflik organisasi.


SIMPULAN

Empat perspektif dari bentukan epistemologi dan ontologi memberikan rerangka bagi manajemen untuk mengetahui bagaimana mereka bertindak sebagai pengelola sebuah organisasi. Perspektif ini sebagai bentuk dasar penalaran manajer dalam bertindak dan bagaimana menilai perilaku individu dalam organisasi.

Manajemen akan dianggap baik jika telah dikonfrontasikan dengan berbagai pola yang sudah dianggap ideal. Dalam pelaksanaan manajemen yang baik menuntut manajer untuk mengakui dan menyadari apabila pola yang dilakukan tidak sesuai dan belum ideal setelah dikonfrontasikan dengan pola-pola lain. Manajer terlibat diskusi dengan para penganut pola pengelolaan organisasi yang berbeda dengan pola yang selama ini digunakan, sehingga terjadi koreksi ketika perlu adanya pembenahan bahkan penggantian sistem lama. Dan terakhir, manajer juga harus memahami teori-teori yang ada sehingga dapat membandingkan dengan komprehensif dan akan dapat menerima standar terbaik dalam penggunaan model pengelolaan organisasi.











13


Referensi


Archer, M.S. 1996. “Social integration and system integration: developing the distinction”, Sociology, Vol. 30 No. 4, pp. 679-99.

Bhaskar, R. 1998. The Possibility of Naturalism: A Philosophical Critique of the Contemporary Human Sciences, 3rd ed., Routledge, London.

Dixon, J. 2002. Responses to Governance: Governing Corporations, Societies and the World. Praeger, Westport, CT.

Dixon, J. and Dogan, R. 2002. Hierarchies, Networks and Markets: Responses to Societal Governance Failures, Administrative Theory and Praxis. Vol. 24 No. 1, pp. 175-96.

Dixon, J. and Dogan, R. 2003. A Philosophical Investigation of Corporate Governance Failure. The Journal of The Philosophy of Management, Forth Coming.

Gabriele Lakomski, Colin W. Evers, 2011, Analytic Philosophy and Organization Theory: Philosophical Problems and Scientific Solutions, Research in the Sociology of Organizations. Vol. 32 pp. 23-54

Hollis, M. 1994. The Philosophy of Social Science, Cambridge University Press, Cambridge.

John Dixon, Rhys Dogan, 2003. Corporate Decision Making: Contending Perspectives and Their Governance Implications, Corporate Governance. The International Journal of Business in Society. Vol. 3 Iss 1 pp. 39-57

Judistira, Garna K. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: Judistira Garna Foundation dan Primaco Akademika.

Likert, R. 1967. The Human Organization: Its Management and Value, McGraw-Hill, New York, NY.

Nichols, J.R. 1986. “Congruent Leadership”, Leadership & Organization Development Journal. Vol. 7 No. 1, pp. 27-31.

Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Salmon, Merrilee, John Earman, Clark Glymour, James G. Lenno, Peter Machamer, J.E.

McGuire,   John    D.    Norton,    Wesley    C.    Salmon,    Kenneth    F.    Schaffner.
1992. Introduction to the Philosophy of Science. USA: Prentice-Hall.

Santoso, Heri dan Listiyono Santoso. 2003. Filsafat Ilmu Sosial. Yogyakarata: Gama Media.

Susanto, Astrid S. 1976. Filsafat Komunikasi. Bandung: Bina Cipta.

Thompson, J.D. 1967. Organizations in Action. McGraw-Hill, New York, NY.


14



Trevor H. Maddock. 1994. Three Dogmas of Materialist Pragmatism: A Critique of a Recent Attempt to Provide a Science of Educational Administration. Journal of Educational Administration. Vol. 32 Iss 4 pp. 5-27

Weber, M. 1947. The Theory of Social and Economic Organization, (trans. Henderson, A.M. andParsons, T.) (originally published in 1915). Free Press, New York, NY.




17

Makalah Media komunikasi

BAB   I PENDAHULUAN A.    Latar belakang Dalam kehidupan manusia tidak lepas dari komunikasi  baik itu perorangan atau kelompok. Hal...