Monday, November 25, 2019

makalah filsafat pendidikan islam tenatang penciptaan alam semesta, kedudukan manusia, kedudukan ilmu pengetahuan


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Proses Penciptaan Alam Semesta
Terdapat perbedaan pandangan dikalangan umat muslim, tentang asal mula penciptaan alam semesta. Ada yang menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakandari tiada menjadi ada, sementara pendapat lain mengemukakan bahwa alam semesta diciptakan dari materi atau sesuatu yang sudah ada. Pendapat yang pertama, selalu didasarkan pada kata khalaqa, yang digunakan dalam penciptaan alam semesta. Mereka berpendapat bahwa penggunaan kata khalaqa memiliki arti penciptaan sesuatu dari bahan yang belum ada menjadi ada.
Sementara itu, Pendapat kedua didasarkan pada informasi Alquran yang mengindikasikan bahwa alam semesta ini diciptakan dari materi yang sudah ada. Informasi seperti ini diantaranya ditemukan dalam dua surah, yaitu QS Fushilat (41 :11) yang menyatakan bahwa Allah swt menuju langit, sedangkan langit ketika itu masih berupa dukhan ( asap ). Surat yang kedua, QS Al-Anbiyya ( 21 : 30 ), yang menginformasikan bahwa langit dan bumi itu, dahulunya adalah sesuatu yang padu, lalu Allah memisahkan keduanya. Pandangan kedua ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang di lakukan para pakar astronomi dan astro fisika yang menyimpulkan bahwa keseluruhan alam semesta ini pada awalnya satu masa yang besar. kemudian terjadi pemisahan, sehingga terbentuk galaksi. Galaksi tersebut kemudian terbagi-bagi dalam bentuk  bintang-bintang, planet-planet, matahari, bulan dan lain-lain.
Dalam konteks proses penciptaan alam semesta, Al-farabi berpendapat bahwa alam semesta ini trejadi karena limpahan dari yang Esa. Wujud Tuhanlah yang melimpahkan wujud alam semesta. Terlepas dari perbedaan pandangan diatas,Alquran menginformasikan bahwa alam semesta ini diciptakan tuhan tidak secara sekaligus, tetapi melalui serangkaian tahapan, masa, atau proses. Dalam sejumlahsurah Alquran selalu menggunakan istilah fi sittah ayyam, yang biasa diterjemah kandalam arti enam hari, enam masa, atau mungkin enam priode. Selain itu, dalam Alquran ditemukan pula ayat yang menyatakan bahwa Allah menciptakan bumidalam dua hari atau dua masa, dan menentukan kadar makanan penghuninya (rezeki)dalam empat hari, dan menjadikan tujuh langit dalam dua hari.

B.     Tujuan Penciptaan Alam Semesta
Allah menegaskan bahwa Dia tidak menciptakan langit, bumi dan apa yang ada diantara keduanya secara main-main, kecuali dengan al-haq.
Itu berarti bahwa tidak ada ciptaan Allah, sekecil apapun ciptaan itu, yang tidak memiliki arti dan makna, apa lagi alam semesta yang terbentang luas ini. Dalam persfektif islam, tujuan penciptaan alam semesta ini pada dasarnya adalah sarana untuk menghantarkan manusia pada pengetahuan dan pembuktian tentang keberadaan dan kemaha kuasaan Allah.
Secara ontologis, adanya alam semesta ini mewajibkan adanya zat yang mewujudkanya. Keberadaan langit dan bumi mewajibkan adanya sang pencipta yang menciptakan keduanya. Keberadaan alam semesta merupakan petunjuk yang sangat jelas, tentang adanya keberadaan Allah sebagai Tuhan maha pencipta. Karenanya, dengan mempelajari alam semesta manusia akan sampai pada pengetahuan bahwa Allah adalah zat yang menciptakan Alam semesta. Alquran secara tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan Alam semesta adalah untuk memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda keberadaan kekuasaan Allah. Disampig sebagai sarana untuk menghantarkan manusia akan keberadaan dan keMaha kekuasaan Allah, dalam presfektif islam, alam semesta beserta segala sesuatu yang berada didalamnya diciptakan untuk manusia.
Dan fungsi konkret alam semesta adalah fungsi rubbubiyah yang diciptakan Allah kepada manusia, sehingga alam iniakan marah manakala manusia bertindak serakah dan tidak bertanggung jawab.

C.    Kedudukan Alam Semesta dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Allah sebagai pencipta, pemilik kasih dan sayang untuk segenap makhluk- Nya alam ini sebagai bukti dari kasih sayang Allah untuk manusia. Karna alamsemesta diciptakan untuk manusia, maka Allah telah menundukkan bagi merekauntuk kepentingan manusia. Allah menundukan apa yang ada dilangit dan bumi.Dialah yang memudahkan alam ini bagi manusia dan menjadikannya sebagai tempattinggal yang enak untuk didiami.
Agar manusia mudah memahami alam semesta, maka Allah menciptakan ukuran atau ketentuan yang pasti ( sunnah Allah). Padaalam semesta, sehingga ia bersifat fredichtable. Kemudian, agar manusia mudahmemahami dan berinteraksi dengan alam semesta ini, maka Allah menciptakandengan derajat yang lebih rendah dibanding manusia. Untuk itu, manusia tidak bolehtunduk kepada alam semesta, tetapi harus tunduk kepada Allah, Tuhan yang telahmenciptakan dan menundukan alam ini buat mereka.Meskipun alam semesta ini diciptakan untuk manusia, namun bukan berartimanusia dapat berbuat sekendak hati didalamnya. Hal ini bermakna bahwakekuasaan manusia pada alam semesta ini bersifat terbatas. Manusia hanya boleh mengolah dan memanfaatkan alam semesta ini sesuai dengan iradah atau keinginan.
Tuhan yang telah mengamanahkan alam semesta ini kepada manusia. Memang, sebagai khalifah Allah telah memberikan mandat kepada manusia untuk mengatur  bumi dan segala isinya. Demikianpun, kekuasaan seorang khalifah tidaklah bersifat mutlak, sebab kekuasaannya dibatasi oleh pemberi amanah kekhalifahan itu, yakni Allah.
Dalam persepektif pendidikan Islam, alam adalah guru manusia. Kita semua wajib belajar dari sikap alam semesta yang tunduk mutlak pada hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Tidak terbayangkan oleh kita semua manakala alam berprilaku diluar hukum-hukum Allah, alam melanggar sunahnya. misalnya Gunung meletus menyemburkan api, matahari terbit dan turun ke bumi, bintang-bintang berjatuhan, pohon-pohon tumbang, lautan meluap, ombak menghantam, terjadi badai, dan bumi berhenti berputar. Pelajaran apa yang dapat diambil dari kejadian demikian ? Demikian pula, manusia yang tidak mau belajar dari konsistensi kehidupanalam, sifatnya berubah bagaikan binatang, saling menipu dan lain lain. Rusaknya kehidupan alam disebabkan oleh prilaku manusia yang tidak mau belajar dari alam semesta. Alam semesta ini dapat dijadikan guru yang bijaksana. Belajar dari alam semesta adalah tujuan hidup manusia dan secara filosofis, dimana kedudukan alam semesta bagaikan guru dengan muridnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kedudukan alam semesta dalam perspektif filsafat pendidikan islam adalah sebagai guru yang mengajar kepada manusia untuk  bertindak sesuai dengan hukum yang telah digariskan Tuhan.
D.    Kedudukan Manusia dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

1.      Kedudukan Manusia
Kesatuan wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan menempatkan manusia pada posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (Khalifah fi al-ardh).
a.       Manusia sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dari kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama. Mulai dari manusia purba sampai kepada manusia modern sekarang yang mengakui bahwa diluar dirinya ada kekuasaan transendental.
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba manusia mengasumsikannya lewat mitos yang melahirkan agama animisme dan dinamisme.
Meskipun dengan pemikiran dan kondisi yang cukup sederhana, manusia dahulu telah  mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan menguasai seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengatahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk upacara ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanaya itu menjadi bukti, bahwa ia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama. Allah SWT berfirman:
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 30 : 30)
Berdasarkan ayat diatas, jelaslah bahwa bagaimanapun modernnya atau primitifnya suatu suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya.
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS. 51: 56)
Berdasarkan ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya. Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut informasi Al-Qur’an disebabkan telah terjadinya dialog antara Allah dan roh manusia takkala berada di alam arwah.
Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka (anak-anak Adam menjawab: “Betul (Engkau Tuhan Kami) Kami menjadi saksi....” (QS. 7 : 172)
Dengan demikian, kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena manusia telah berikrar sejak alam (mitsaq), sejak alam arwah bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Kepercayaan manusia kepada Zat Maha Agung yang ada diluar dirinya juga diiringi oleh Realisme Instinktif yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Kepatuhan tersebut kemudian dimanifestasikannya lewat peribadatan-peribadatan ritual, sehingga manusia memiliki beban dan tugas sebagai makhluk pengabdi kepada Tuhannya. Dengan demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya. Pengenalan dan pengabdian yang dilakukan manusia sebagai realisasi kepada Tuhannya pada mulanya mereka melakukan sesuai dengan keterbatasan akalnya. Allah tidak ingin manusia berada selalu dalam kesesatan. Untuk itu, Allah SWT memperkenalkan kepada manusia cara melakukan pengabdian. Dengan pendekatan dan kemampuan yang dimilikinya mengantarkan manusia mampu melaksanakan pengabdiannya sesuai aturan yang dikehendaki Allah.
Dalam konsep animistik misalnya, manusia merasakan ketidakmampuannya dan ingin mendapatkan perlindungan dan pertolongan kepada Zat Yang Maha Agung. Namun, keterbatasan akalnya  manusia tidak bisa menemukannya. Akhirnya manusia purba mengkultuskan benda-benda alam yang dianggapnya mempunyai kekuatan gaib (mana) dan selanjutnya dilakukan penyembahan kepada benda-benda tersebut.
Untuk itu, Allah mengutus para Rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk kepada manusia, mana yang harus mereka sembah sebenarnya. Lewat inisiatif pengakuan akan adanya Zat Yang Menguasainya, lewat bimbingan wahyu (ajaran agama) yang disampaikan dengan perantaraan Rasul, diharapkan manusia akan mampu mengenal khalidnya lewat pengabdian yang ditunjukkannya dalam kehidupan.

b.      Manusia sebagai Khalifah Allah fi al-ardh
Bila ditinjau, kata khalifah berasal dari madli khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinya lebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara sat individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) berarti penguasa politik dan religius. Istilah ini digunakan unutk nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan khala’if yang didalamnya mengandung makna yang lebih luas yaitu bukan hanya sebagai penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia dialam ini, nampaknya istilah khala cocok digunakan dibandingkan kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Pendapat yang demikian memang tidak ada salahnya karena dalam istilah khala’if sudah terkandung makna istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah, manusia berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan kedudukan orang lain dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan.
Untuk lebih menegaskan fungsi kekhalifahan manusia di alam ini, dapat dilihat misalnya dalam ayat-ayat dibawah ini:
Artinya: “dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat”. (QS. Al-An’am: 165).
Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. (QS. Fathir : 39)
Artinya: “Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudag lenyapnya Nuh, dan Tuhanmu telah melebihkan kekuatan tubuh dan perwakanmu (dari pada kaum nuh itu). (QS. Al-A’raf: 69).
Ayat-ayat tersebut di atas, di samping menjelaskan kedudukan manusia di dalam raya sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Quraisy Shihab mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Sebab, meskipun manusia mampu mengelola (menguasai) namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia. Oleh karena itu, manusia dalam visi kekhalifahannya bukan saja sekedar menggantikan, namun dengan arti yang luas ia harus senantiasa mengikuti perintah yang digantikan (Allah).
Untuk melaksanakan tugasnya sebgai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia  seperangkat potensi (fitrah) berupa aql, qalb, dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah tersebut tidak otomatis berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu sendiri mengembangkannya. Untuk itu, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi agar menjadi pedoman bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh dan selaras dengan tujuan penciptaannya. Dengan pedoman ini manusia akan dapat tampil sebagai makhluk Allah yang tinggi martabatnya. Jika tidak manusia akan tidak berbeda esensinya dengan hewan.
Dengan kedudukan, fungsi, dan kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya melebihi makhluk lain, memiliki konsekuensi nilai moral religius. Untuk itu, manusia harus mempertanggung jawabkan semua aktifitas perbuatannya di hadapan khaliknya. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibn Umar ra. Berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang dipimpinnya...” (HR. Mutafaq’Alaih).
Selanjutnya Ahmad Hasan Firhat, membedakan kedudukan kekhalifahan manusia  pada dua bentuk, yaitu:
Pertama, khalifah kauniyat. Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dimuka bumi. Pemberian wewenang Allah SWT kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemaknaan yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, label kekhalifahan yang dimaksud diberikan keada semua manusia sebagai penguasa alam semesta. Bila dimensi ini dijadikan  standard dalam melihat predikat manusia sebagai khalifah fi al-ardh, maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai konsekuensi kekhalifahannya tanpa kontrol dan melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka bumi bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah dan merugikan makhluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan makhluk yag bernama manusia.
Kedua, khalifah syariyah. Dimensi ini merupakan wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan yang dimilikinya mampu menjadi pilar dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi kemaslahatan umat manusia.

E.     Hakikat Ilmu Pengetahuan
Menurut Quraish Shihab, kata ilmu dalam bebrbagai bentuk terdapat 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam proses pencapaian tujuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan. Jadi ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas tentag sesuatu. Pengetahuan yang tidak jelas dari segi ontology, epistimologi maupun aksiologi di dalam Islam tidak dianggap sebagai ilmu walaupun orang menyebutnya ilmu juga.
Persoalan hakikat ilmu pengetahuan atau apa sebenarnya pengetahuan (ontology) telah menjadi perdebatan antara kaum materialis dan kaum idealis. Kaum materialis hanya mengenal pengetahuan yang bersifat empiris dengan pengertian bahwa pengetahuan hanya diperoleh dengan menggunakan akal atau indera yang bersifat empiris dan terdapat di alam materi yang ada di dunia ini. Sedangkan menurut kaum idealis, termasuk Islam, ilmu pengetahuan bukan hanya diperoleh dengan perantaraan akal dan indera yang bersifat empiris saja¸ tetapi juga ada pengetahuan yang bersifat immateri, yaitu ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah sebagai Khalid (Pencipta) pengetahuan tersebut.
Beberapa pandangan yang berbeda tentang pengetahuan yakni: pandangan aliran realisme, idealisme, dan pragmatisme.
a.       Realisme.
Secara umum, aliran filsafat realisme berpendapat bahwa dunia material merupakan dunia yang riil (nyata) dan bukan sesuatu yang maya. Dunia material seperti meja, kursi, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan lainnya dalam pikiran manusa, melainkan wujud itu sendiri.
b.      Idealisme
Idealisme secara umum merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa sesungguhnya yang riil (nyata) itu bersifat ruhani, dan itu adalah ide (gagasan dan kesadaran) yang ada dalam subyek. Keberadaan dan arti benda-benda material tergantung kepada subjek yang mengamati dan memahaminya dengan akal budi.
c.       Pragmatisme
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang muncul dan berkembang di Amerika Serikat dan dipelopori oleh tokoh-tokohnya seperti Carles S. Pierce, Jhon Dewey dan Wiliam James. Ilmu pengetahuan modern amat berpengaruh pada metode dan bangunan filsafat mereka. Seperti halnya idealisme, pragmatisme berpendapat bahwa akal budi manusia itu aktif mencari pengetahuan dan bukan hanya pasif menerima saja apa yang diberikan  dari luar. Pengethauan merupakan hasil interaksi atau transaksi dengan lingkungan.

F.     Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam. Hal ini banyak terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu.
Didalam Al-Qur’an, kata ilmu digunakan lebih dari 780 kali, ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Al-Qur’an sangat kental dengan nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam sebagaimana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani sebagai berikut: “Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), Al-Qur’an dan Al-Sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang pengetahuan pada derajat tinggi”.

G.    Perintah Al-Qur’an untuk mencari, menemukan dan mempelajari ilmu.
Perintah Al-Qur’an untuk mencari ilmu dapat dipahami dari dua aspek:
1.      Al-Qur’an menyuruh manusia menggunakan akal.
Rasio (akal) adalah merupakan salah satu dari perangkat anugerah (hidayah) yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia.


2.      Al-Qur’an menyuruh manusia meneliti alam semesta.
alam semesta (universum, kosmos, al-kaun) merupakan realitas yang dihadapi manusia yang sampai kini baru sebagian kecil yang dapat diketahui dan diungkap oleh manusia. Bagian terbesar masih merupakan suatu misteri, yang tidak dikenal oleh manusia betapapun kemajuan yang telah mereka capai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

H.    Cara memperoleh pengetahuan
Dalam filsafat ilmu cara mendapatkan pengetahuan ilmu dinamakan epistimologi. Dalam epistimologi Islam, pengetahuan diperoleh melalui dua cara yaitu: melalui usaha manusia dan yang diberikan oleh Allah SWT.
Pengetahuan yang diperoleh melalui manusia usaha manusia, ada 4 jenisnya yaitu:
1.      Pengetahuan empiris yang diperoleh melalui indera.
2.      Pengetahuan sains yang diperoleh melalui indera dan akal.
3.      Pengetahuan filsafat yang diperoleh melalui akal.
4.      Pengetahuan intuisi yang diperoleh melalui qalb (hati).
Sedangkan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT, berupa:
1.      Wahyu yang disampaikan kepada para Rasul.
2.      Ilham yang diterima oleh akal manusia
3.      Hidayah yang diterima oleh qalb manusia. 

I.       Sumber dan Fungsi Pengetahuan
Sumber utama dari ikmu pengetahuan dalam Islam adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kebenaran yang langsung disampaikan Tuhan kepada salah seorang hamba-Nya, yang dipilih-Nya, yang di sebut Rasul atau Nabi.
Al-Qur’an disamping mengandung petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunan yang bersifat ubudiyah dan akhlaqiyah (moral), juga mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat dipedomani manusia untuk  mengolah dan menyelidiki alam semesta, atau untuk mengerti gejala-gejala dan hakekat hidup yang dihadapinya dari masa ke masa. Oleh karena itu, manusia berkewajiban untuk mencari dan menggali dari prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan-kemampuan ijtihad dan daya analisis yang terdapat dalam diri manusia. Al-Qur’an merupakan ayat Allah beriringan dan berdampingan dengan Sunnatullah yang menjadi dasar pergerakan dan perjalanan alam ini. Sehingga antara alam dan Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling menafsirkan dan saling memberi petunjuk kepada manusia mengenai jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi.
Adapun fungsi ilmu pengetahuan secara umum adalah : untuk berubudiyah kepada Allah, untuk dapat membedakan antara hak dan yag bathil, yang salah dan dan yang benar, serta sebagai modal untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Rasulullah SAW telah bersabda:
Artinya: “Siapa yang bermaksud untuk urusan di dunia maka harus dengan ilmu, siapa yang bermaksud untuk keduanya harus dengan ilmu”. (HR. Muslim).








 

Makalah Media komunikasi

BAB   I PENDAHULUAN A.    Latar belakang Dalam kehidupan manusia tidak lepas dari komunikasi  baik itu perorangan atau kelompok. Hal...