BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertan Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya
ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat
islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang
berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya
istihad umat islam setalah qiyas. Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya
menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun
mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu berarti menetapkan
memutuskan suatuperkara, dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma berati
kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara
ulama fiqih dari abad tertentu mengenai masalah hukum.2]
2. Dalil-dalil
yang kehujjahan Ijma’
Dalil-dalil yang kehujjahan
Ijma’ akan kita paparkan sebagai berikut:
a.
Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :
ﻦﺴﺣ ا
ﺪﻨﻋ ﻮﻬﻓ ﺎﻨﺴﺣ نﻮﻤﻠﺴﻤﻟا هأرﺎﻣ
Artinya : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka
menurut
pandangan
Allah juga baik”.
b. Sabda
Rasulullah Saw
ﺔﻟﻼﺿﻰﻠﻋﻰﺘﻣاﻊﻤﺠﺗﻻ
Artinya
: “UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.
c. Demikian juga sabda Rasulullah Saw
yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari sahabat Umar bin Khatab R.A :
ﺪﻌﺑا
ﻦﻴﻨﺛﻻا ﻦﻣ ﻮﻫو ﺬﻔﻟا
ﻊﻣ نﺎﻄﻴﺸﻟا نﺈﻓ
ﺔﻋﺎﻤﺠﻟا مﺰﻠﻴﻠﻓ ﺔﻨﺠﻟا ﺔﺠﺤﺑ
هﺮﺳ ﻦﻤﻓ ﻻا
Artinya : “Ingatlah
barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah)
jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang
menyendiri.
Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.
Firman
Allah Swt :
تﺄﺳو
ﻢﻨﻬﺟ ﻪﻠﺼﻧو ﻰﻟﻮﺗ ﺎﻣ ﻪﻟﻮﻧ ﻦﻴﻨﻣﺆﻤﻟا ﻞﻴﺒﺳ
ﺮﻴﻏ ﻊﺒﺘﻳو ىﺪﻬﻟا ﻦﻴﺒﺗ ﺎﻣ ﺪﻌﺑ ﻦﻣ لﻮﺳﺮﻟا ﻒﻗﺎﺸﻳ ﻦﻣو 115: ءﺎﺴﻨﻟا ) اﺮﻴﺼﻣ )
Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenarannya baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia k edalam neraka jahanam dan jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali”.
Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang
mukmin adalah harom. Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya
dengan ancaman neraka jahanam. Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin
adalah wajib. Jika jama’ah orang mukmin mengatakan “ini halal” jika ada orang
yang menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang “haram” maka dia tidak
mengikuti jalan orang mukmin.
Oleh
karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang mukmin
berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat
dijadikan hujjahyang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath)
dari nash-nash Syara’.
a.
Yang bersepakat adalah para mujtahid
b.
Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
c.
Para mujtahid harus umat Muhammad Saw
d.
Dilakukan setelah wafatnya Nabi
e. Kesepakatan mereka harus berupa
syariat.
Dalam hal persyaratan Ijma’ ada
ulama yang mengatakan bahwasannya zaman/masa sebagai syarat Ijma’.
4. Tingkatan
Ijma’
a.
Ijma’ sharih
Dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka
menerima pendapat yang disepakati tersebut.
b.
Ijma’ Sukuti
Dimana
suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat itu
diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid atas, tidak
ada seorangpun mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam Syafi’i
tidak memasukkan Ijma’ Sukutidalam kategori Ijma’ yang dapat
dijadikan hujjah.
Ulama-ulama yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :
1)
Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori
ijma’ (oleh imam Syafi’i)
2)
Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’,
hanyasaja tingkat kekuatanya di bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain
Syafi’i dan Hanafi)
3) Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah)
tapi bukan termasuk kategori ijma’. (Madzhab Hanafi)
Dari
3 golongan tersebut
masing-masing memiliki alasan
masing- masing.
Adapun
organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak dapat
dijadikan hujjah sariyyah adalah sebagai berikut :[4]
1)
Orang diam tidak dapat dipandang sebagai orang
berpendapat. Karena apa? Jika dianggap sebagai ijma’ ini diam dapat dianggap
sebagai pembicaraan yang dinisbatkan pada seorang mujtahid.
2)
Diam tidak dapat di pandang sebagai setuju. Karena diamnya
seorang mujtahid mungkin setuju/tidak, mungkin berijtihad dengan
masalah tersebut/mungkin sudah, tetapi belum memperoleh hasil yang mantap dan
masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Segala kemungkinan tersebut di
atas, maka diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menerima
pendapat seorang mujtahid.
Sedang
yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai berikut :
1)
Pada dasarnya diam tidak bisa dikategorikan hujjah
kecuali sesudah merenung dan berfikir.
2)
Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa memberikan keterangan
pada suatu masalah.
3)
Diamnya seorang mujtahid setelah merenung dan berfikir
terhadap hasil ijtihad orang lain yang bertentangan dengan hukum yang
benar menurut ijtihadnya adalah haram.
5. Kemungkinan
terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya
ijma’ dan nilai argumentasinya. Mengapa? Karena terjadinya perbedaan pendapat dalam
mengartikan ijma’. Diantaranya berpendapat bahwa : Ijma’ adalah kesepakatan
para Mujtahid pada setiap masa terhadap hukum syara’ jika demikian maka ijma’
tersebut tidak mungkin terjadi.
Tetapi jika yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid
terhadap hukum-hukum syara tetap ditetapkan berdasarkan dalil nash yang qoth’i. Seperti: Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat
menghadapi qiblat, kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain. Maka hal
tersebut mungkin terjadi. Dalam hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan ijma’, melainkan dalil-dalil nash qoth’i. Dengan
demikian ijma’ tidak memiliki peran apa-apa karena ijma’ bisa di katakan
berfungsi jika ia mampu meningkatkan hukum yang bersifat dhonny menuju Qoth’i.
Hukum-hukum seperti disebutkan di atas seperti wajibnya shalat, puasa dan
sebagainya pada dasarnya sudah bersifatqoth’i. Kemudian siapakah
orang-orang yang ijma’nya bisa diterima? Dan bagaimana kriteria mujtahid yang
ijma’nya dapat diterima? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini beliau imam
Syafi’i membuka dialog dalam kitab Jima’ul Ilmu : “Siapakah diantara
ulama ijma’nya dapat dijadikan hujjah ialah orang-orang yang diakui
(diangkat) oleh penduduk suatu Negara sebgai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya
dapat diterima oleh penduduk tersebut dengan senang hati. Akan tetapi jawaban
tersebut diangkat oleh imam Syafi’i, karena tidak ada ulama’ yang memiliki
sifat-sifat diatas walaupun ada ahli fiqh yang diakui sebagian penduduk dalam
suatu negara namun dianggap orang bodoh yang tidak berhak memberikan fatwa oleh
sebagian penduduk lain. Apalagi ulama’ yang fatwanya diterima secara bulat oleh
seluruh penduduk antar Negara. [5]
Dengan adanya pernyataan-pernyataan diatas beliau Imam
Syafi’i cenderung menolak ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :7][6]
1) Para Fuqoha berdomisili di
berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin dapat
bertemu.
2) Terjadinya perbedaan pendapat
diantara para fuqoha yang tersebar diberbagai daerah diseluruh
Negara-negara Islam.
Tidak ada kesepakatan ulama’ tentang orang-orang yang
diterima ijma’nya. Dengan demikian ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah)
hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili
dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga
memungkinkan terjadinya ijma’. Akan tetapi pada masa tabi’in berhubung sudah
berpencar di berbagai negara hingga sulit mengadakan pertemuan diantara mereka.
Maka benarlah sesungguhnya jika ulama mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang
dispakati dan diterima oleh semua ulama, kecuali ijma’nya para sahabat. Dan
dapat disimpulkan bahwa masa sekarang ini tidak mungkin terjadinya ijma’.
6. Pengertian Qiyas
ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ
تاوﺎﺴﻤﻟا ﻢﻠﻌﻴﻟ ﺮﺧﺄﺑ ﺊﺸﻟاﺮﻳﺪﻘﺗ
ﻢﻜﺤﻟا ﻰﻓ ﺎﻬﻌﻤﺠﺗ ﺔﻠﻌﺑ ﻞﺻﻻا ﻰﻟا
عﺮﻔﻟا در
Qiyas juga
bisa berarti menyamakan
sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu
yang ada nash hukumny karena ada persamaan
illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan
hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang
tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga bersifat implicit-analogik
(tersirat) yang terkandung dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap
peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya”.
Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari
dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.
Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum
yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis
berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan
titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang
ditetapkan. A1-Qur’an menjelaskan perbedaan hukum karena tidak adanya persamaan
sifat dan perbuatan yaitu firman Allah :
ﻢﻬﻟﺎﺜﻣا
ﻦﻳﺮﻓﺎﻜﻠﻟو ﻢﻬﻴﻠﻋ ا ﺮﻣد
ﻢﻬﻠﺒﻗ ﻦﻣ ﻦﻳﺬﻟا ﺔﺒﻗﺎﻋ نﺎﻛ
ﻒﻴﻟ اوﺮﻈﻨﻴﻓ ضرﻻا
ﻰﻓ اوﺮﻴﺴﻳ ﻢﻠﻓا Artinya : Maka apakah mereka tidak
mengadakan perjalanan di muka bumi ini sehingga mereka dapat melihat
bagaimana kesudahan orang-orang
sebelum
mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir
akan menerima akibat-akibat seperti itu.
Yang kedua adalah analogi beda
sifat, beda hukum.
ﺄﺳ ﻢﻬﺗﺎﻤﻣو
ﻢﻫﺎﻴﺤﻣ ءاﻮﺳ تﺎﺤﻟﺎﺼﻟا
اﻮﻠﻤﻋو اﻮﻨﻣأ
ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻛ ﻢﻬﻠﻌﺠﺗ نا تﺄﻴﺴﻟا
اﻮﺟﺮﺘﺣا ﻦﻳﺬﻟا
ﺐﺴﺣ ما 21 : ﺔﻴﺛﺎﺠﻟا) نﻮﻤﻜﺤﻳ ﺎﻣ)
Artinya : Apakah orang yang membuat kejahatan itu
menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian
mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.
Dan Firman Allah yang berbunyi.
28 : دﺎﺼﻟا) رﺎﺠﻔﻟا ﺎﻛ ﻦﻴﻘﺘﻤﻟا
ﻞﻌﺠﻧ ما ضرﻻا
ﻰﻓ ﻦﻳﺪﺴﻔﻤﻟا ﺎﻛ تﺎﺤﻟﺎﺼﻟا
اﻮﻠﻤﻋو اﻮﻨﻣا
ﻦﻳﺬﻟا ﻞﻌﺠﻧ ما) Artinya : Patutkah kami menganggap
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sho!eh samadengan
orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah kami menganggap
orang-orang yang bertaqwa sama
dengan orang-orang yang berbuat
maksiat?
Dengan ketiga dalil Al-Qur’an tersebut di atas sangat
sesuai dengan prinsip berfikir rasional yaitu menyamakan sesuatu karena adanya
persamaan dan membedakan sesuatu karena adanya faktor perbedaan. Menurut
pendapat Imam Al-Muzani seorang sahabat Imam Syafi’i menyimpulkan pandangan
beliau tentang qiyas yaitu : Para ahli hukum dan masa Rasulullah hingga
sekarang selalu mempergunakannya dalam setiap masalah agama. Sesuatu yang
setara dengan hak adalah hak dan yang dengan setara bathil ya bathil pula. Ibnu
Qoyyim sependapat dengan hal tersebut.
Karena
qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur
ulamatentang tentang digunakannya/tidak digunakannya qiyas. Dalam hal ini
terdapat tiga kelompok besar yaitu :
1)
Kelompok Jumhur : Mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum
pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al-Qur’an/Al-hadist pendapat
shahabat/ijma’ ulama tapi hal tersebut dilakukan dengan tidak berlebihan dan
melampaui batas.
2) Madzab Dhohiriyah dan Syiah
Imamiyah:Sama sekali tidak memakai qiyas, hanya terpaku pada teks.
3)
Akhor/kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas.
Terkadang dalam kondisi/masalah tertentu kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentaskhih
dan keumuman Al-Qur’an dan Al Hadist.
7.
Dalil Kehujjahan Qiyas
Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran
yang tepat dan paling kuat. Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan
atas prinsip berpikir logis disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan
petunjuk Rasulullah. Dalil Al-qur’annya adalah sebagai berikut:
ا ﻰﻟا هاودﺮﻓ ءﻲﺳ ﻰﻓ ﻢﺘﻋزﺎﻨﺗ نﺈﻓ ﻢﻜﻨﻣ ﺮﻣﻻا لواو لﻮﺳﺮﻟا
اﻮﻌﻴﻃاو ا اﻮﻌﻴﻃا
اﻮﻨﻣا ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻬﻳاﺎﻳ
ﺮﺧﻻا مﻮﻴﻟاو ﺎﺑ نﻮﻨﻣﺆﺗ ﻢﺘﻨﻛ نا لﻮﺳﺮﻟاو.
(59 : ءﺎﺴﻨﻟا)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah
dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan
rasul (sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya
terdapat ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan
tidak bukan adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya
yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat
hukum yang dinamakan qiyas.
Analoginya adalah seperti ini: Apabila seorang pegawai
dijatuhi hukuman karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada
teman-teman sekantor “Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu,
maka ambilah sebagai pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata
Sang Kepala tersebut kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang
sama, kamu akan dihukum sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah
hadist Rasulullah SAW:
ا بﺎﺘﻜﺑ ﻰﻀﻗا : لﺎﻗ ,ءﺎﻀﻗ ﻪﻟ ضﺮﻋ اذا ﻰﻀﻘﺗ
ﻒﻴﻟ ﻪﻟ لﺎﻗ .ﻦﻤﻴﻟا ﻰﻟا
ﻪﺜﻌﺒﻳ نا دارا ﺎﻤﻟ م.ص ا لﻮﺳر نا ا لﻮﺳر ﻰﺿﺮﻳ ﺎﻤﻟ ا
لﻮﺳر ﻖﻓو ىﺬﻟا ﺪﻤﺤﻟا : لﺎﻗ هرﺪﺻ ﻰﻠﻋ م.ص ا لﻮﺳر
ﺔﻨﺴﺒﻓ ﺪﺟأ ﻢﻟ نﺈﻓ م.ص
Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak
mengutus Muadz menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau
memberi putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab
Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan Sunnah
Rasulullah Saw, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya akan
berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk
dadanya dan berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberi taufiq
kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh Rasulullah Saw”.
Dari
hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz untuk berijtihad, bila dia
tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan baik
Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan
untuk sampai kepada hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas.[9] Dengan adanya
dalil kehujjahan qiyas diatas,
dapat kita simpulkan bahwasannya
pada saat sekarangpun qiyas masih terjadi.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Ijma’ menurut
hukum islam pada prinsipnya ijma’adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau
sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau
ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Qiyas ialah menyamakan suatu
peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya
dalam nash karena adanya kesamaan duakejadian dalam illat hukumnya.
Dan uraian makalah di atas kita dapat
mengetahui bahwasannya ijma’ yang disepkati/disetujui oleh ulama adalah hanya
ijma’nya shahabat. Dan pada masa sekarang ini ijma’ sudah tidak terjadi, tetapi
ijma’ berlaku sebagai dalil syara’ satu tingkat di bawah As-sunnah.
Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini
masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.
SARAN
Kami menyadari makalah ini terbatas dan
banyakkekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca
agar melihat referensi lain yang terkaitdengan pembahasan makalah ini demi
relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka dari itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 17
[2]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 70.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007),
hal.317.
[4]
Ibid., hal. 318.
[5]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007),
hal.311.
[6]
Ibid.,
[7] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul
hamid Hakim, hal 18.
[8] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul
hamid Hakim, hal 18.
[9]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Setia), hal. 71