Monday, November 25, 2019

Makalah ushul fiqih


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Fiqh yang notabene sebagai ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis(‘amaliyah), merupakan sebuah “jendela” yang dapat digunakan untuk melihat perilaku budaya masyarakat Islam. Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-Muktasab) menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagaihukum praktis.
Proses yang umum kita kenal sebagi ijtihad ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga pengembangan tak terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan. Maka dari itulah diperlukan upaya memahami pokok-pokok dalam mengkaji perkembangan fiqh agar tetap dinamis sepanjang masa sebagai pijakan yang disebut dengan istilah Ushul Fiqh.
Ilmu Ushul Fiqih sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan mengenai nash-nash syariat Islam, dan dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash. Juga merupakan suatu ilmu yang diperlukan bagi seorang hakim dalam usaha memahami materi undang-undang secara sempurna, dandalam menerapkan undang-undang itu dengan praktik yang dapat menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi yang dimaksud oleh pembuat hukum (syari’). Ia juga suatu ilmu yang juga diperlukan ulama Fiqih dalam melakukan pembahasan, pengkajian, penganalisaan dan pembandingan antara beberapa mazhab dan pendapat.

B.     Rumusan Masalah
A.    Apa Pengertian Ushul Fiqih ?
B.     Bagaimana Sejarah Ushul Fiqih ?
C.     Apa Manfaat Ushul Fiqih ?
D.    Bagaimana Kolerasi Antara Fiqih dan Ushul Fiqih ?

C.    Tujuan Masalah
A.    Pengertian Ushul Fiqih
B.     Sejarah Ushul Fiqih
C.     Manfaat Ushul Fiqih
D.    Kolerasi Antara Fiqih dan Ushul Fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ushul Fiqih
Untuk mengetahui makna usul fikih, ada baiknya kita terlebih dahulu mengurainya menjadi dua kata: usul dan fikih.
Usul adalah kata serapan dari bahasa Arab yaitu ushul, bentuk plural dari ashl, yang berarti dasar, asas, pokok, atau fondasi. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah mengumpamakan kalimat yang baik seperti pohon yang baik: ‘akarnya’ kuat dan cabangnya menjulang tinggi ke langit.” (QS. Ibrahim 24).
Di dalam ayat ini, kata ashl, yang merupakan bentuk tunggal dari ushul dipakai untuk menjelaskan makna fondasi pohon, yaitu akarnya.
Di dalam istilah, usul memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah dalil, pendapat yang paling kuat, kaidah, dan hukum asal.[1] Makna ini tergantung konteks kalimat di mana kata usul tersebut ditempatkan.
Sedangkan fikih atau fiqh dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (kata benda yang bermakna kata kerja) dari faqiha-yafqahu yang berarti memahami, mengerti, mengetahui, atau yang semakna dengan itu. Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang memanjatkan doa,
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي (*) يَفْقَهُوا قَوْلِي
Dan lepaskan kekakuan dari lisanku, agar mereka ‘memahami’ perkataanku.” (QS. Thaha: 27-28)
Akan tetapi sebagian ulama mengkritisi makna ini. Mereka berpendapat fikih tak sekadar memahami atau mengetahui saja, akan tetapi memahami dengan pemahaman yang dalam, bukan memahami secara global. Jadi, seorang yang hanya memahami saja tidak dikatakan seorang yang fakih.
Dalam istilah, fikih berarti suatu disiplin ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang berupa amal perbuatan disertai dengan dalil-dalil yang terperinci.[2]



Oleh sebab itu, fikih tidak membahas hukum akli dan adat. Fikih tidak pula bicara permasalahan akidah semisal tauhid, dalam konteks pengertian fikih menurut istilah ini. Kata “ushul fiqh ” secara istilah teknik hukum berarti : “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci ,” atau dalam artian sederhana adalah: “Kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalinya”.
Setelah mengetahui makna dua kata di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa usul fikih adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fikih secara global dan mengupas metode dalam menarik hukum dari dalil-dalil tersebut, serta kondisi orang yang menarik hukum tersebut.[3]
Sehingga dapat kita uraikan secara garis besar usul fikih mencakup tiga pembahasan:
  1. Dalil-dalil syar’i, baik yang disepakati eksistensinya, seperti Alquran, sunah, ijmak, dan qias, maupun diperselisihkan eksistensinya oleh para ulama, semisal istish-hab, perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan, dan mashalih mursalah.
  2. Metode dalam ber-istinbath atau ber-istidlal, yaitu menarik hukum syar’i dari dalil tersebut. Semisal mengetahui lafal amr-nahy (perintah-larangan), nasih-mansukh (penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-khusus), muthlaq-muqayyad (mutlak-terikat), mujmal-mubayyan (global-dirinci), manthuq-mafhum (tekstual-implisit), dan lafal lain yang berguna dalam ber-istidlal.
  3. Kondisi seorang mujtahid yang beristidlal, termasuk membahas pertentangan dalil, bagaimana menguatkan pendapat, seputar fatwa, juga bicara mengenai taklid, dan lain sebagainya.
Untuk memudahkan kita memahami usul fikih, ada baiknya kita menggunakan metode mind map atau peta pikiran, serta analogi, yang acap kali dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan suatu hal kepada para sahabatnya.
Kita gambarkan usul fikih sebagai sebuah pohon yang besar dan berbuah. Buahnya matang dan siap dipetik. Lalu datang seseorang yang mencoba untuk memetik buah tersebut. Inilah gambaran usul fikih secara sederhana.
Pohon tersebut ibarat sumber hukum di dalam Islam, yaitu Alquran, sunah, ijmak, dan qiyas. Sedangkan buah pohon itu adalah hukum itu sendiri, yakni wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Orang yang datang untuk memetik buah itu adalah seorang mujtahid. Ia ingin memetik buah berupa hukum dari pohon yang merupakan sumber hukum. Terakhir, cara orang tersebut memetik buah adalah metode dalam mengeluarkan hukum suatu permasalahan dari sumber hukum itu sendiri, yang sudah kita singgung sebelumnya sebagai istidlal atau istinbath. Nah, usul fikih adalah disiplin ilmu yang membahas itu semua: pohon, buah, orang yang memetik buah, serta cara orang tersebut memetik buah.

B.     Sejarah Ushul Fiqih
1. Masa Nabi Muhammad SAW
Benih-benih ilmu ushul fiqh sudah tumbuh dan terbentuk pada masa Rasulullah. Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan ilmu fiqh dikembalikan kepada Rasul. Selain itu, dalam pertumbuhan dan pembentukannya ilmu ushul fiqh juga berpijak kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun ijtihad Nabi tidaklah dapat disamakan dengan ijtihad sahabat, tabi’in dan lainnya, karena ijtihad Nabi terjamin kebenarannya, dan bila salah, seketika itu juga datang wahyu untuk membetulkannya. Demikian demi terjaganya syariat.[4]
2. Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum Islam adalah para Sahabat Nabi. Pada masa ini para Sahabat banyak melakukan ijtihad ketika suatu masalah tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pada saat berijtihad, para sahabat telah menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun belum dirumuskan dalam suatu disiplin ilmu.[5]
Ijtihad mereka dilakukan baik secara perseorangan maupun secara bermusyawarah. Keputusan atau kesepakatan mereka dari musyawarah tersebut dikenal dengan ijma’ Sahabat. Selain itu, mereka melakukan ijtihad dengan metode qiyas (analogi) dan mereka juga berijtihad dengan metode istishlah . Praktik ijtihad yang dilakukan para Sahabat dengan metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu.
3. Masa Tabi’in
Pada masa Tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan tambah meluasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan baru yang muncul.[6] Para Tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di Madinah, di Irak dan di Basrah. Titik tolak para ulama dalam menetapkan hukum bisa berbeda, yang satu melihat dari suatu maslahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui Qiyas. Dari perbedaan dalam mengistinbatkan hukum inilah, akibatnya muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah Al-Irak, Madrasah Al-Kaufah yang lebih dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Ra’yu dan Madrasah Al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Hadits. Namun pada masa ini ilmu ushul fiqh masih belum terbukukan.
4. Masa Imam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i
Pada periode ini, metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbath hukum dan teknis penerapannya. Imam Abu Hanafiah an-Nu’man (80-150 H) pendiri mazhab Hanafi. Dasar-dasar istinbathnya yaitu : Kitabullah, Sunnah, fatwa (pendapat Sahabat yang disepakati), tidak berpegang dengan pendapat Tabi’in, qiyas dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas (93-179 H) pendiri mazhab Maliki. Di samping berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, beliau juga banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah.[7] Pada masa ini, Abu Hanifah dan Imam Malik tidak meninggalkan buku ushul fiqh.
5. Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris Asy-syafi’i (150-204 H) pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Pada masa ini ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad pada masa itu.[8] Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’i yang datang kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbath para mujtahid sebelumnya, sehingga beliau mengetahui di mana keunggulan dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan metode istinbath yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam, untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnya.
Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh. Kitabnya yang berjudul Al-Risalah (sepucuk surat) menjadi bukti bahwa beliau telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Kitabnya tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan fiqh.


6. Ushul Fiqh Pasca Syafi’i
Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Ada yang membahas secara men-syarh (menjelaskan) tanpa mengubah atau mengurangi yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitabnya. Tapi, ada juga yang membahas bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i.
Masih dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Salah satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164-241H) pendiri mazhab Hanbali. Pertengahan abad keempat ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk mazhab baru. Namun kegiatan ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para ahli analisis ushul fiqh mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang dihadapi pada zaman masing-masing.[9]


C.    Manfaat Ushul Fiqih

1.      Menjadi pondasi dalam berijtihad
Ilmu ushul fiqh merupakan dasar yang digunakan para ulama dalam berijtihad. Yakni memutuskan hukum syara’ atau perkara-perkara yang tidak ada dalilnya dalam Al-quran dan Al-hadist. Tentunya dalam berijtihad tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Sebab nantinya hasil ijtihad ini akan digunakan oleh masyarakat sebagai landasan hukum.
Seseorang yang ahli ushul fiqih biasanya memiliki wawasan luas tentang tafsir Al-quran. Perbedaan hadist shahih, hasan dan dhaif, serta dalil-dalil yang benar menurut agama. Dengan demikian, pembentukan hukum islam bisa lebih mendekati kebenaran.

2.      Memperluas wawasan tentang islam
Manfaat mempelajari ilmu ushul fiqh yang pertama adalah untuk memperluas wawasan tentang islam yang berkenaan dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, apabila ada perkara tertentu maka kita bisa mencari dalil-dalil yang benar.



3.      Menerapkan kaidah islam secara benar
Pada dasarnya, hukum ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan qiyas. Seseorang yang sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci tentunya ia akan memiliki pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan demikian, ia pun dapat menerapakan kaidah islam secara benar.

4.      Mengaplikasikan hukum sesuai syariat agama
Manfaat mempelajari ushul fiqh selanjutnya adalah untuk mengaplikasikan hukum yang benar sesuai syariat agama. Seorang mukallaf dan Mufti tentunya harus menguasai ilmu ushul fiqh agar bisa membuat fatwa yang tidak menyesatkan. Begitupun dengan hakim dalam mengambil keputusan juga sebaiknya berpedoman pada ushul fiqh sehingga keputusannya bisa dipertanggungjawabkan secara agama.

5.      Menghindari Taqlid yang tidak benar
Taqlid merupakan tindakan mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalil atau sumber yang dijadikan pedoman untuk pendapat tersebut. Terdapat ulama yang berpendapat bahwa taqlid diperbolehkan bagi orang awam  yang tidak mengerti cara untuk menentukan hukum berijtihad. Namun adapula ulama yang tidak memperbolehkannya.
Taqlid hanya boleh dilakukan jika seseorang yang telah berusaha menyelidiki kebenaran dari perkara tertentu. Atau jika perkara tersebut memiliki dalil yang jelas maka tidak apa-apa mengikutinya. Terlebih lagi taqlid terhadap sunnah rasul, hal itu justru diwajibkan.
Namun jika taqlidnya mengikuti kebiasaan nenek moyang, seperti menyembah berhala, mencari pesugihan di gunung, atau membawa sesajen ke kuburan maka perbuatan tersebut haram karena bertentangan dengan syariat agama islam. Maka itu, sangat penting mempelajari ushul fiqh karena bisa membantu kita mencari hukum-hukum yang benar sebelum mengikuti suatu keputusan atau kebiasaan di masyarakat.

6.      Memperkuat keyakinan terdapat hukum-hukum syara’
Hukum syara’ adalah hukum yang mengatur tentang kehidupan atau tingkah laku manusia dengan berdasarkan pada ketetapan Allah Ta’ala. Beberapa hukum syara’ ada yang tidak tertuang jelas pada Al-quran sehingga diperlukan ijtihad. Nah, apabila kita mempelajari ilmu ushul fiqh maka kita bisa lebih memahami tentang hukum syara’. Kita bisa lebih yakin mana hukum wajib, sunnah, makruh atau mubah.

7.      Mengetahui bagaimana para mujtahid membentuk hukum fiqih
Manfaat selanjutnya dari mempelajari ushul fiqh adalah untuk mengetahui bagaiamana para mujtahid membentuk hukum fiqh di jaman dulu. Sehingga kita pun bisa menelaah dan membedakan mana hukum yang benar dan mana yang masih dalam batas dalam pertentangan.




8.      Mencari kebenaran diantara madzab fiqh
Manfaat mempelajari ushul fiqh juga bisa membantu kita mencari kebenaran diantara ahli madzhab fiqih. Kita bisa membandingkan pendapat madzhab satu dengan yang lain. Lalu melakukan pembelajaran tentang masing-masing hukum, sehingga bisa ditemukan mana hukum yang paling sesuai dengan syariat agama islam.

9.      Sarana untuk membentuk hukum fiqih
Ilmu ushul fqih sangatlah luas. Mempelajari ushul fiqh berarti mempelajari Al-quran dan Al-hadist secara menyeluruh hingga bagaimana cara menafsirkan dan mengembangkannya. Apabila seseorang mampu memahami ushul fiqh secara mendalam maka ilmunya bisa ia gunakan untuk menilai hukum fiqih yang telah ada, ataupun merumuskan hukum yang belum ada secara benar dan sesuai syariat islam.

10.  Meningkatkan keimanan
Mempelajari ushul fiqh tidak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan saja, tapi juga bisa meningkatkan keimanan. Semakin kita mendalami konsep Al-quran dan Al-hadist maka iman tentu akan semakin kuat.

11.  Memperkuat ketaqwaan
Selain meningkatkan iman, mempelajari ushul fiqih juga memperkuat takwa. Kita semakin mengetahui tentang dalil-dalil yang benar dan salah, mendalami tentang hukum Allah Ta’ala. Dengan demikian, akan muncul rasa takut bila durhaka kepada Allah. Hal ini bisa membuat ketaqwaan semakin meningkat.

12.  Menyampaikan pendapat dengan benar
Sebagai umat muslim kita diwajibkan untuk mengemukakan kebenaran. Namun jika ilmu masih kurang, tentunya kita takut bila memberikan pendapat tertentu terkait agama. Bisa-bisa pendapat kita ini salah dan malah menyesatkan. Nah, maka itu mempelajari ushul fiqh bisa membantu kita lebih pede dalam menyampaikan pendapat yang benar sesuai syariat agama.

13.  Membantu untuk berceramah sesuai agama
Tidak semua orang bisa berceramah. Seorang penceramah agama tentunya harus memiliki ilmu yang luas tentang dalil-dalil islam. Mempelajari ilmu fiqh sangat penting bagi seorang ulama atau ustad. Hal ini bisa membantu dalam berceramah yang benar dan tidak menyesatkan.

14.  Membantu penyelesaian perkara secara islami
Di jaman modern ini kita sering menjumpai pertentangan pendapat terkait politik dan urusan agama. Kondisi tersebut tentu sangat krusial, bahkan bisa menyebabkan perpecahan masyarakat. Nah, apabila kita mengantongi ilmu agama (dalam konteks ushul fiqh) maka kita bisa menyelesaikan perkara-perkara tersebut dengan berprinsip pada agama islam yang sebenar-benarnya.


15.  Memahami seluk-beluk keluarnya fatwa
Manfaat mempelajari ushul fiqh berikutnya dapat membantu kita memahami seluk-beluk dikeluarkannya suatu fatwa agama oleh lembaga tertentu. Memang jika lembaga tersebut sudah terpecaya, maka kita sudah cukup menuruti.
Namun terkadang fatwa juga mendatangkan pertentangan pendapat antara satu lembanga dengan lainnya. Nah, untuk mencari jalan keluarnya kita harus mempelajari ushul fiqh. Dengan demikian, kita bisa mengkaji mana pendapat yang lebih mendekati kebenaran secara agama.

16.  Meluruskan penyimpangan-penyimpangan di masyarakat
Selanjutnya, dengan mempelajari ushul fiqh bisa membantu mengatasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Kita dapat menunjukkan dalil-dalil yang benar tentang suatu perbuatan atau hukum, sehingga semua hal bisa kembali pada islam yang sesungguhnya sesuai Al-Quran dan Sunnah Nabi.

17.  Melindungi diri dari perbuatan dosa
Manfaat terakhir dari mempelajari ushul fiqh secara pribadi dapat melindungi diri kita dari perbuatan dosa. Pemahaman tentang Al-quran dan Sunnah secara mendalam akan meningkatkan iman dan taqwa. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan dosa bisa lebih diminimalisir sebab kita juga sudah tahu konsekuensinya. Jadi otomatis hati kita bisa lebih dekat dengan Allah Ta’ala.
Nah, itulah beberapa manfaat mempelajari ushul fiqih yang paling utama. Pada intinya, sangat penting bagi setiap muslim untuk memahami ilmu agama secara benar dan mendalam, guna menghindari hal-hal buruk yang bisa menyesatkan diri. Semoga bermanfaat.


D.    Kolerasi Fiqih dan Ushul Fiqih
Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu mathiq (logika)  dengan filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agar tidak ada kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam bahasa arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab.  Demikian juga Ushul Fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbatkan (menggali) hukum.
Untuk memudahkan pemahaman dalam masalah seperti ini, kami kemukakan contoh- contoh tentang perintah mengerjakan sholat berdasarkan Al- Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ yang terjemahannya sebagai berikut :
“ Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula) sholat shubuh. Sesungguhnya sholat shubuh itu disaksiakn   ( oleh Malaikat) ”. QS. Al- Isra: 78
Nabi Muhammad SAW telah bersabda dalam hadits-Nya yang berbunyi:
“ Shalatlah sebagaimana kamu melihatku bershalat”. (HR. Muttafaqun alaihi).
Dari firman Allah SWT dan Hadist Nabi Muhammad SAW belum dapat diketahui, apakah hukmnya mengerjakan shalat itu, baik wajib, sunat, atau harus. Dalam masalah ini Ushul Fiqh memberikan dalil bahwa hukum perintah atau suruhan itu asalnya wajib, terkecuali adanya dalil lain yang memalingkannya dari hukumannya yang asli itu. Hal itu dapat dilihat dari kalimat perintah mengenai mengerjakan Shalat bagi umat Islam.


BAB  III
PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan ilmu fiqih dengan Ushul Fiqih, jelas sangat berhubungan sebab memang Ilmu Fiqih merupakan produk dari Ushul Fiqh. Ilmu Fiqh berkembang kerena berkembangnya Ilmu Ushul Fiqh.Ilmu fiqh akan bertambah maju manakala ilmu Ushul Fiqh mengalami kemajuan karena ilmu Ushul Fiqh adalah semacam ilmu atau alat yang menjelaskan metode dan sistem penetapan hukum berdsarkan dalil- dalil naqli maupun naqli. Sedangkan Ilmu Ushul fiqh adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam- macam ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh ketetapan hukum syara’ yang harus diamalkan manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Djalil A. Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta : Kencana, 2010

Umam Chaerul, Ushul fiqih 1, Bandung : PustakaSetia, 2008

Effendi Satria, Ushul Fiqih, Jakarta : KencanaPrenada Media Group, 2009




[1] Taisir Ilmi Ushul al-Fiqh – Maktabah Syamilah, hal. 6
[2] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 25
[3] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 32-34, dan Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 21
[4] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 19
[5] Satria Effendi , UshulFiqh (Jakarta :KencanaPrenada Media Group, 2009), hlm. 16
[6] Ibid , hlm. 17
[7] ChaerulUmam, Ushulfiqih 1 (Bandung: PustakaSetia, 2008),hlm. 26-27
[8] Satria Effendi , Op. cit , hlm. 19
[9] ChaerulUmam, Op. cit, hlm. 28

Makalah Media komunikasi

BAB   I PENDAHULUAN A.    Latar belakang Dalam kehidupan manusia tidak lepas dari komunikasi  baik itu perorangan atau kelompok. Hal...