BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Fiqh yang notabene sebagai ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang
bersifat praktis(‘amaliyah), merupakan sebuah “jendela” yang dapat digunakan
untuk melihat perilaku budaya masyarakat Islam. Definisi fiqh sebagai sesuatu
yang digali (al-Muktasab) menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui
serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagaihukum praktis.
Proses yang umum kita kenal sebagi ijtihad ini bukan saja
memungkinkan adanya perubahan, tetapi juga pengembangan tak terhingga atas
berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan. Maka dari
itulah diperlukan upaya memahami pokok-pokok dalam mengkaji perkembangan fiqh agar tetap dinamis sepanjang masa sebagai pijakan yang
disebut dengan istilah Ushul Fiqh.
Ilmu Ushul Fiqih sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan
oleh seorang mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan mengenai nash-nash
syariat Islam, dan dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash. Juga
merupakan suatu ilmu yang diperlukan bagi seorang hakim dalam usaha memahami
materi undang-undang secara sempurna, dandalam menerapkan undang-undang itu
dengan praktik yang dapat menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi
yang dimaksud oleh pembuat hukum (syari’). Ia juga suatu ilmu yang juga
diperlukan ulama Fiqih dalam melakukan pembahasan, pengkajian, penganalisaan
dan pembandingan antara beberapa mazhab dan pendapat.
B.
Rumusan Masalah
A.
Apa
Pengertian Ushul Fiqih ?
B.
Bagaimana
Sejarah Ushul Fiqih ?
C.
Apa
Manfaat Ushul Fiqih ?
D.
Bagaimana
Kolerasi Antara Fiqih dan Ushul Fiqih ?
C.
Tujuan Masalah
A.
Pengertian
Ushul Fiqih
B.
Sejarah
Ushul Fiqih
C.
Manfaat
Ushul Fiqih
D.
Kolerasi
Antara Fiqih dan Ushul Fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ushul Fiqih
Untuk mengetahui makna usul fikih, ada baiknya kita terlebih dahulu
mengurainya menjadi dua kata: usul dan fikih.
Usul adalah kata serapan dari bahasa Arab yaitu ushul, bentuk plural dari
ashl, yang berarti dasar, asas, pokok, atau fondasi. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ
مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا
فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah mengumpamakan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik: ‘akarnya’ kuat dan cabangnya menjulang tinggi ke
langit.” (QS. Ibrahim 24).
Di dalam ayat ini, kata ashl, yang merupakan bentuk tunggal dari ushul
dipakai untuk menjelaskan makna fondasi pohon, yaitu akarnya.
Di dalam istilah, usul memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah dalil,
pendapat yang paling kuat, kaidah, dan hukum asal.[1]
Makna ini tergantung konteks kalimat di mana kata usul tersebut ditempatkan.
Sedangkan fikih atau fiqh dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (kata
benda yang bermakna kata kerja) dari faqiha-yafqahu yang berarti memahami,
mengerti, mengetahui, atau yang semakna dengan itu. Allah Ta’ala berfirman
tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang memanjatkan doa,
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي
(*) يَفْقَهُوا قَوْلِي
“Dan lepaskan kekakuan dari lisanku, agar mereka ‘memahami’ perkataanku.” (QS. Thaha: 27-28)
Akan tetapi sebagian ulama mengkritisi makna ini. Mereka berpendapat fikih
tak sekadar memahami atau mengetahui saja, akan tetapi memahami dengan
pemahaman yang dalam, bukan memahami secara global. Jadi, seorang yang hanya
memahami saja tidak dikatakan seorang yang fakih.
Dalam istilah, fikih berarti suatu disiplin
ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang berupa amal perbuatan disertai
dengan dalil-dalil yang terperinci.[2]
Oleh sebab itu, fikih tidak membahas hukum akli dan adat. Fikih tidak pula
bicara permasalahan akidah semisal tauhid, dalam konteks pengertian fikih
menurut istilah ini. Kata “ushul fiqh ” secara istilah teknik
hukum berarti : “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha
merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci ,” atau dalam artian
sederhana adalah: “Kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan
hukum-hukum dari dalil-dalinya”.
Setelah mengetahui makna dua kata di atas, kita bisa menarik kesimpulan
bahwa usul fikih adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fikih secara global dan
mengupas metode dalam menarik hukum dari dalil-dalil tersebut, serta kondisi
orang yang menarik hukum tersebut.[3]
Sehingga dapat kita uraikan secara garis besar usul fikih mencakup tiga
pembahasan:
- Dalil-dalil syar’i, baik yang disepakati eksistensinya, seperti
Alquran, sunah, ijmak, dan qias, maupun diperselisihkan eksistensinya oleh
para ulama, semisal istish-hab, perkataan sahabat, syariat sebelumnya, istihsan, dan mashalih mursalah.
- Metode dalam ber-istinbath atau ber-istidlal, yaitu menarik hukum syar’i dari dalil tersebut. Semisal mengetahui
lafal amr-nahy (perintah-larangan), nasih-mansukh (penganulir-dianulir), ‘am-khash (umum-khusus), muthlaq-muqayyad (mutlak-terikat), mujmal-mubayyan (global-dirinci), manthuq-mafhum (tekstual-implisit), dan lafal lain yang berguna dalam ber-istidlal.
- Kondisi seorang mujtahid yang beristidlal, termasuk membahas
pertentangan dalil, bagaimana menguatkan pendapat, seputar fatwa, juga
bicara mengenai taklid, dan lain sebagainya.
Untuk memudahkan kita memahami usul fikih, ada baiknya kita menggunakan
metode mind map atau peta pikiran, serta analogi, yang acap kali dipraktikkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan suatu hal kepada para sahabatnya.
Kita gambarkan usul fikih sebagai sebuah pohon yang besar dan berbuah.
Buahnya matang dan siap dipetik. Lalu datang seseorang yang mencoba untuk
memetik buah tersebut. Inilah gambaran usul fikih secara sederhana.
Pohon tersebut ibarat sumber hukum di dalam Islam, yaitu Alquran, sunah,
ijmak, dan qiyas. Sedangkan buah pohon itu adalah hukum itu sendiri, yakni
wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Orang yang datang untuk memetik buah
itu adalah seorang mujtahid. Ia ingin memetik buah berupa hukum dari pohon yang
merupakan sumber hukum. Terakhir, cara orang tersebut memetik buah adalah
metode dalam mengeluarkan hukum suatu permasalahan dari sumber hukum itu
sendiri, yang sudah kita singgung sebelumnya sebagai istidlal atau istinbath. Nah, usul fikih adalah disiplin
ilmu yang membahas itu semua: pohon, buah, orang yang memetik buah, serta cara
orang tersebut memetik buah.
B.
Sejarah
Ushul Fiqih
1. Masa Nabi
Muhammad SAW
Benih-benih ilmu ushul fiqh sudah tumbuh dan terbentuk pada masa
Rasulullah. Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan ilmu fiqh
dikembalikan kepada Rasul. Selain itu, dalam pertumbuhan dan pembentukannya
ilmu ushul fiqh juga berpijak kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun ijtihad Nabi tidaklah
dapat disamakan dengan ijtihad sahabat, tabi’in dan lainnya, karena ijtihad
Nabi terjamin kebenarannya, dan bila salah, seketika itu juga datang wahyu
untuk membetulkannya. Demikian demi terjaganya syariat.[4]
2.
Masa Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam
pembentukan hukum Islam adalah para Sahabat Nabi. Pada masa ini para Sahabat
banyak melakukan ijtihad ketika suatu masalah tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an
dan Hadits. Pada saat berijtihad, para sahabat telah menggunakan kaidah-kaidah
ushul fiqh meskipun belum dirumuskan dalam suatu disiplin ilmu.[5]
Ijtihad mereka dilakukan baik secara perseorangan maupun secara
bermusyawarah. Keputusan atau kesepakatan mereka dari musyawarah tersebut
dikenal dengan ijma’ Sahabat. Selain itu, mereka melakukan ijtihad dengan
metode qiyas (analogi) dan mereka juga berijtihad dengan metode istishlah
. Praktik ijtihad yang dilakukan para Sahabat dengan metode-metode tersebut
telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu.
3.
Masa Tabi’in
Pada masa Tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan
meluas disebabkan tambah meluasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan
baru yang muncul.[6]
Para Tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di Madinah, di Irak
dan di Basrah. Titik tolak para ulama dalam menetapkan hukum bisa berbeda, yang
satu melihat dari suatu maslahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya
melalui Qiyas. Dari perbedaan dalam mengistinbatkan hukum inilah,
akibatnya muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah Al-Irak, Madrasah
Al-Kaufah yang lebih dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Ra’yu dan Madrasah
Al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Hadits. Namun pada masa ini ilmu
ushul fiqh masih belum terbukukan.
4.
Masa Imam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i
Pada periode ini, metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan
demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbath hukum dan teknis
penerapannya. Imam Abu Hanafiah an-Nu’man (80-150 H) pendiri mazhab Hanafi.
Dasar-dasar istinbathnya yaitu : Kitabullah, Sunnah, fatwa (pendapat Sahabat
yang disepakati), tidak berpegang dengan pendapat Tabi’in, qiyas
dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas (93-179 H) pendiri mazhab
Maliki. Di samping berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, beliau juga banyak
mengistinbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah.[7]
Pada masa ini, Abu Hanifah dan Imam Malik tidak meninggalkan buku ushul fiqh.
5.
Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin
Idris Asy-syafi’i (150-204 H) pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu,
mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Pada masa ini ditandai dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai didirikannya
“Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad pada masa itu.[8]
Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’i yang datang kemudian,
banyak mengetahui tentang metode istinbath para mujtahid sebelumnya, sehingga
beliau mengetahui di mana keunggulan dan di mana kelemahannya. Beliau
merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan metode istinbath yang jelas dan dapat
dipedomani oleh peminat hukum Islam, untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta
untuk mengukur kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnya.
Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh.
Kitabnya yang berjudul Al-Risalah (sepucuk surat) menjadi bukti bahwa beliau
telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam Syafi’i berusaha
memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah
melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Kitabnya
tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan fiqh.
6.
Ushul Fiqh Pasca Syafi’i
Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i
menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Ada yang membahas
secara men-syarh (menjelaskan) tanpa mengubah atau mengurangi yang dikemukakan
Imam Syafi’i dalam kitabnya. Tapi, ada juga yang membahas bersifat analisis
terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i.
Masih dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah
dalam bidang ini. Salah satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad bin
Hanbal (164-241H) pendiri mazhab Hanbali. Pertengahan abad keempat ditandai
dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan pengertian
tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk mazhab baru. Namun
kegiatan ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para ahli analisis
ushul fiqh mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut, ushul fiqh
menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya
cenderung memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang dihadapi
pada zaman masing-masing.[9]
C.
Manfaat Ushul Fiqih
1. Menjadi pondasi dalam berijtihad
Ilmu ushul fiqh
merupakan dasar yang digunakan para ulama dalam berijtihad. Yakni memutuskan
hukum syara’ atau perkara-perkara yang tidak ada dalilnya dalam Al-quran dan
Al-hadist. Tentunya dalam berijtihad tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
Sebab nantinya hasil ijtihad ini akan digunakan oleh masyarakat sebagai
landasan hukum.
Seseorang yang ahli ushul fiqih biasanya
memiliki wawasan luas tentang tafsir Al-quran. Perbedaan hadist shahih, hasan
dan dhaif, serta dalil-dalil yang benar menurut agama. Dengan demikian,
pembentukan hukum islam bisa lebih mendekati kebenaran.
2. Memperluas wawasan tentang islam
Manfaat mempelajari
ilmu ushul fiqh yang pertama adalah untuk memperluas wawasan tentang islam yang
berkenaan dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, apabila ada perkara tertentu
maka kita bisa mencari dalil-dalil yang benar.
3. Menerapkan kaidah islam secara benar
Pada dasarnya, hukum
ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan qiyas. Seseorang yang
sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci tentunya ia akan memiliki
pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan demikian, ia pun dapat
menerapakan kaidah islam secara benar.
4. Mengaplikasikan hukum sesuai syariat
agama
Manfaat mempelajari
ushul fiqh selanjutnya adalah untuk mengaplikasikan hukum yang benar sesuai
syariat agama. Seorang mukallaf dan Mufti tentunya harus menguasai ilmu ushul
fiqh agar bisa membuat fatwa yang tidak menyesatkan. Begitupun dengan hakim
dalam mengambil keputusan juga sebaiknya berpedoman pada ushul fiqh sehingga
keputusannya bisa dipertanggungjawabkan secara agama.
5. Menghindari Taqlid yang tidak benar
Taqlid merupakan
tindakan mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil-dalil atau sumber
yang dijadikan pedoman untuk pendapat tersebut. Terdapat ulama yang berpendapat
bahwa taqlid diperbolehkan bagi orang awam yang tidak mengerti cara untuk
menentukan hukum berijtihad. Namun adapula ulama yang tidak memperbolehkannya.
Taqlid hanya boleh dilakukan jika
seseorang yang telah berusaha menyelidiki kebenaran dari perkara tertentu. Atau
jika perkara tersebut memiliki dalil yang jelas maka tidak apa-apa
mengikutinya. Terlebih lagi taqlid terhadap sunnah rasul, hal itu justru
diwajibkan.
Namun jika taqlidnya mengikuti kebiasaan
nenek moyang, seperti menyembah berhala, mencari pesugihan di gunung, atau
membawa sesajen ke kuburan maka perbuatan tersebut haram karena bertentangan
dengan syariat agama islam. Maka itu, sangat penting mempelajari ushul fiqh
karena bisa membantu kita mencari hukum-hukum yang benar sebelum mengikuti suatu
keputusan atau kebiasaan di masyarakat.
6. Memperkuat keyakinan terdapat
hukum-hukum syara’
Hukum syara’ adalah
hukum yang mengatur tentang kehidupan atau tingkah laku manusia dengan
berdasarkan pada ketetapan Allah Ta’ala. Beberapa hukum syara’ ada yang tidak
tertuang jelas pada Al-quran sehingga diperlukan ijtihad. Nah, apabila kita
mempelajari ilmu ushul fiqh maka kita bisa lebih memahami tentang hukum syara’.
Kita bisa lebih yakin mana hukum wajib, sunnah, makruh atau mubah.
7. Mengetahui bagaimana para mujtahid
membentuk hukum fiqih
Manfaat selanjutnya
dari mempelajari ushul fiqh adalah untuk mengetahui bagaiamana para mujtahid
membentuk hukum fiqh di jaman dulu. Sehingga kita pun bisa menelaah dan
membedakan mana hukum yang benar dan mana yang masih dalam batas dalam
pertentangan.
8. Mencari kebenaran diantara madzab fiqh
Manfaat mempelajari
ushul fiqh juga bisa membantu kita mencari kebenaran diantara ahli madzhab
fiqih. Kita bisa membandingkan pendapat madzhab satu dengan yang lain. Lalu
melakukan pembelajaran tentang masing-masing hukum, sehingga bisa ditemukan
mana hukum yang paling sesuai dengan syariat agama islam.
9. Sarana untuk membentuk hukum fiqih
Ilmu ushul fqih
sangatlah luas. Mempelajari ushul fiqh berarti mempelajari Al-quran dan Al-hadist
secara menyeluruh hingga bagaimana cara menafsirkan dan mengembangkannya.
Apabila seseorang mampu memahami ushul fiqh secara mendalam maka ilmunya bisa
ia gunakan untuk menilai hukum fiqih yang telah ada, ataupun merumuskan hukum
yang belum ada secara benar dan sesuai syariat islam.
10. Meningkatkan keimanan
Mempelajari ushul fiqh
tidak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan saja, tapi juga bisa meningkatkan
keimanan. Semakin kita mendalami konsep Al-quran dan Al-hadist maka iman tentu
akan semakin kuat.
11. Memperkuat ketaqwaan
Selain meningkatkan
iman, mempelajari ushul fiqih juga memperkuat takwa. Kita semakin mengetahui
tentang dalil-dalil yang benar dan salah, mendalami tentang hukum Allah Ta’ala.
Dengan demikian, akan muncul rasa takut bila durhaka kepada Allah. Hal ini bisa
membuat ketaqwaan semakin meningkat.
12. Menyampaikan pendapat dengan benar
Sebagai umat muslim
kita diwajibkan untuk mengemukakan kebenaran. Namun jika ilmu masih kurang,
tentunya kita takut bila memberikan pendapat tertentu terkait agama. Bisa-bisa
pendapat kita ini salah dan malah menyesatkan. Nah, maka itu mempelajari ushul
fiqh bisa membantu kita lebih pede dalam menyampaikan pendapat yang benar
sesuai syariat agama.
13. Membantu untuk berceramah sesuai agama
Tidak semua orang bisa
berceramah. Seorang penceramah agama tentunya harus memiliki ilmu yang luas
tentang dalil-dalil islam. Mempelajari ilmu fiqh sangat penting bagi seorang
ulama atau ustad. Hal ini bisa membantu dalam berceramah yang benar dan tidak
menyesatkan.
14. Membantu penyelesaian perkara secara
islami
Di jaman modern ini
kita sering menjumpai pertentangan pendapat terkait politik dan urusan agama.
Kondisi tersebut tentu sangat krusial, bahkan bisa menyebabkan perpecahan
masyarakat. Nah, apabila kita mengantongi ilmu agama (dalam konteks ushul fiqh)
maka kita bisa menyelesaikan perkara-perkara tersebut dengan berprinsip pada
agama islam yang sebenar-benarnya.
15. Memahami seluk-beluk keluarnya fatwa
Manfaat mempelajari
ushul fiqh berikutnya dapat membantu kita memahami seluk-beluk dikeluarkannya
suatu fatwa agama oleh lembaga tertentu. Memang jika lembaga tersebut sudah
terpecaya, maka kita sudah cukup menuruti.
Namun terkadang fatwa juga mendatangkan
pertentangan pendapat antara satu lembanga dengan lainnya. Nah, untuk mencari
jalan keluarnya kita harus mempelajari ushul fiqh. Dengan demikian, kita bisa
mengkaji mana pendapat yang lebih mendekati kebenaran secara agama.
16. Meluruskan penyimpangan-penyimpangan di
masyarakat
Selanjutnya, dengan
mempelajari ushul fiqh bisa membantu mengatasi penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi di masyarakat. Kita dapat menunjukkan dalil-dalil yang benar tentang
suatu perbuatan atau hukum, sehingga semua hal bisa kembali pada islam yang
sesungguhnya sesuai Al-Quran dan Sunnah Nabi.
17. Melindungi diri dari perbuatan dosa
Manfaat terakhir dari
mempelajari ushul fiqh secara pribadi dapat melindungi diri kita dari perbuatan
dosa. Pemahaman tentang Al-quran dan Sunnah secara mendalam akan meningkatkan
iman dan taqwa. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan dosa bisa lebih
diminimalisir sebab kita juga sudah tahu konsekuensinya. Jadi otomatis hati
kita bisa lebih dekat dengan Allah Ta’ala.
Nah, itulah beberapa
manfaat mempelajari ushul fiqih yang paling utama. Pada intinya, sangat penting
bagi setiap muslim untuk memahami ilmu agama secara benar dan mendalam, guna
menghindari hal-hal buruk yang bisa menyesatkan diri. Semoga bermanfaat.
D.
Kolerasi Fiqih dan Ushul Fiqih
Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu
mathiq (logika) dengan filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah
berfikir yang memelihara akal agar tidak ada kerancuan dalam berfikir. Juga
seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam bahasa arab, dimana ilmu nahwu
merupakan gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis
dan mengucapkan bahasa arab. Demikian juga Ushul Fiqh adalah
merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam
mengistimbatkan (menggali) hukum.
Untuk memudahkan pemahaman dalam masalah seperti ini, kami kemukakan
contoh- contoh tentang perintah mengerjakan sholat berdasarkan Al- Qur’an dan
Hadits Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra’ yang
terjemahannya sebagai berikut :
“ Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula) sholat shubuh. Sesungguhnya sholat shubuh itu
disaksiakn ( oleh Malaikat) ”. QS. Al-
Isra: 78
Nabi
Muhammad SAW telah bersabda dalam hadits-Nya yang berbunyi:
“
Shalatlah sebagaimana kamu melihatku bershalat”. (HR. Muttafaqun alaihi).
Dari firman Allah SWT dan Hadist Nabi Muhammad SAW belum dapat
diketahui, apakah hukmnya mengerjakan shalat itu, baik wajib, sunat, atau
harus. Dalam masalah ini Ushul Fiqh memberikan dalil bahwa hukum perintah atau
suruhan itu asalnya wajib, terkecuali adanya dalil lain yang memalingkannya
dari hukumannya yang asli itu. Hal itu dapat dilihat dari kalimat perintah
mengenai mengerjakan Shalat bagi umat Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hubungan ilmu fiqih dengan Ushul Fiqih, jelas sangat berhubungan
sebab memang Ilmu Fiqih merupakan produk dari Ushul Fiqh. Ilmu Fiqh berkembang
kerena berkembangnya Ilmu Ushul Fiqh.Ilmu fiqh akan bertambah maju manakala
ilmu Ushul Fiqh mengalami kemajuan karena ilmu Ushul Fiqh adalah semacam ilmu
atau alat yang menjelaskan metode dan sistem penetapan hukum berdsarkan dalil-
dalil naqli maupun naqli. Sedangkan Ilmu Ushul fiqh adalah ilmu alat-alat yang
menyediakan bermacam- macam ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh ketetapan
hukum syara’ yang harus diamalkan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Djalil A.
Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta : Kencana, 2010
Umam Chaerul, Ushul
fiqih 1, Bandung : PustakaSetia, 2008
Effendi Satria, Ushul Fiqih, Jakarta : KencanaPrenada Media
Group, 2009
[3] Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 32-34, dan Ma’alim
Ushul al-Fiqh ‘inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah, hal. 21
[4] A. Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 19
[5]
Satria Effendi , UshulFiqh (Jakarta :KencanaPrenada Media Group,
2009), hlm. 16
[7] ChaerulUmam,
Ushulfiqih 1 (Bandung: PustakaSetia, 2008),hlm. 26-27
[8]
Satria Effendi , Op. cit , hlm. 19
[9]
ChaerulUmam, Op. cit, hlm. 28