Monday, December 9, 2019

Makalah Etika Pancasila


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Oleh karena itu, pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai tersebut bersifat universal, dapat ditemukan dimanapun dan kapanpun.
Meskipun para perumus Pancasila mendapat pendidikan dari barat, namun perumusan pancasila digali dan bersumber dari agama, adat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, pancasila pada awalnya merupakan consensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya Negara Indonesia, berkembang menjadi consensus moral yang digunakan sebagai sistem etika yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan berbangsa dan bernegara.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu etika?
2.      Apa saja aliran-aliran dalam etika?
3.      Apa itu etika pancasila?
4.      Apa itu pancasila sebagai solusi persoalan bangsa dan Negara dalam studi kasus korupsi?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu etika.
2.      Untuk mengetahui aliran-aliran yang terdapat dalam etika.
3.      Untuk mengetahui tentang etika pancasila.
4.      Untuk mengetahui apa itu pancasila sebagai solusi persoalan bangsa dan Negara dalam studi kasus korupsi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Etika
Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, dalam bentuk tunggal artinya padang rumput, kebiasaan, adat, watak, dan lain-lain, dan dalam bentuk jamak artinya kebiasaan. Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang kebiasaan. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Moral ialah ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Etika lebih bersifat teori, sedangkan moral menyatakan ukuran. Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini digunakan secara berbeda.
Moral atau moralitas digunakan untuk pembuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika adalah akhlak yang merupakan kata jamak khuluk yang berarti perangai, tingkah laku atau tabiat (Zakky, 2008: 20). Menurut Dr.H. Hamzah Ya’cub dalam buku etika islam, etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh akal pikiran. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).

B.     Aliran-aliran Dalam Etika
Dalam kajian etika dikenal ada tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan diakatakan baik atau buruk.
1.      Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya. Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kan menolak akibat suatu tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9). Kewajiban moral sebagai manifestasi hukum moraladalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal.
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7). Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras, dan otonomi bebas.
2.      Etika Teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Jawaban yang diberikan oleh etika teologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain. Etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etnis dan utilitarianisme.
a.       Egoisme etnis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.



b.      Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi banyak orang. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis,terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak orang.
Ada enam kelemahan utilitarisme, yaitu:
1.      Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
2.      Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang kuantitas- materialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
3.      Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misal atas nama memasukkan investor asing aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa negara pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan masyarakat.
4.      Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek, tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal, misal dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan datang.
5.      Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
6.      Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan itu, etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang besar. Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dsb. Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.
3.      Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang didalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi didalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter bermoral itu seperti apa.

C.    Etika Pancasila
Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal yaitu dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun. Rumusan Pancasila yang otentik dimuat dalam Pembukan UUD 1945 alinea keempat. Dalam penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh PPKI ditegaskan bahwa “pokok- pokok  pikiran  yang termuat dalam Pembukaan (ada empat, yaitu persatuan, keadilan, kerakyatan dan ketuhanan menurut kemanusiaan yang adildan beradab) dijabarkan ke dalam pasal-pasal Batang Tubuh. Dan menurut TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 dikatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Hakikat Pancasila pada dasarnya merupakan satu sila yaitu gotong royong atau cinta kasih dimana sila tersebut melekat pada setiap insan, maka nilai-nilai Pancasila identik dengan kodrat manusia. oleh sebab itu penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, terutama manusia yang tinggal di wilayah nusantara. Pancasila merupakan  hasil kompromi  nasional  dan  pernyataan  resmi  bahwa bangsa Indonesia menempatkan  kedudukan setiap warga negara secara sama, tanpa membedakan antara penganut agama mayoritas maupun minoritas. Selain itu juga tidak membedakan unsur lain seperti gender, budaya, dan daerah. Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan napas humanisme, karenanya Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja.

Di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai dan makna-makna yang dapat di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
1.      Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara garis besar mengandung makna bahwa Negara melindungi setiap pemeluk agama (yang tentu saja agama diakui di Indonesia) untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran agamanya. Tanpa ada paksaan dari siapa pun untuk memeluk agama, bukan mendirikan suatu agama. Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama. Dan bertoleransi dalam beragama, yakni saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
2.      Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mengandung makna bahwa setiap warga Negara mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum, karena Indonesia berdasarkan atas Negara hukum. mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Bertingkah laku sesuai dengan adab dan norma yang berlaku di masyarakat.
3.      Sila Ketiga: Persatuan Indonesia. Mengandung makna bahwa seluruh penduduk yang mendiami seluruh pulau yang ada di Indonesia ini merupakan saudara, tanpa pernah membedakan suku, agama ras bahkan adat istiadat atau kebudayaan. Penduduk Indonesia adalah satu yakni satu bangsa Indonesia. cinta terhadap bangsa dan tanah air. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Rela berkorban demi bangsa dan negara. Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan.
4.      Sila Keempat: Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Mengandung maksud bahwa setiap pengambilan keputusan hendaknya dilakukan dengan jalan musyawarah untuk mufakat, bukan hanya mementingkan segelintir golongan saja yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan anarkisme. tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Melakukan musyawarah, artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
5.      Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia. Mengandung maksud bahwa  setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam setiap lini kehidupan. mengandung arti bersikap adil terhadap sesama, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain. Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat. Seluruh kekayaan alam dan isinya dipergunakan bagi kepentingan bersama menurut potensi masing-masing. Segala usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata. Penghidupan disini tidak hanya hak untuk hidup, akan tetapi juga kesetaraan dalam hal mengenyam pendidikan. Apabila nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir Pancasila di terapkan di dalam kehidupan sehari-hari maka tidak akan ada lagi kita temukan di Negara kita yang namanya ketidak adilan, terorisme, koruptor, serta kemiskinan. Karena di dalam Pancasila sudah tercemin semua norma-norma yang menjadi dasar dan ideologi bangsa dan Negara. Sehingga tercapailah cita-cita sang perumus Pancasila yaitu menjadikan Pancasila menjadi jalan keluar dalam menuntaskan permasalahan bangsa dan Negara.














BAB  III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Dalam kajian etika, dikena adal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan diakatakan baik atau buruk.
Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu dasar filsafat maka sila-sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarkhis dan sistematis. Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
B.     Saran
1.      Etika yang terdapat dalam Pancasila harus senantiasa di terapkan dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud perilaku yang sesuai dengan adat, budaya dan karakter bangsa Indonesia.
2.      Nilai-nilai Pancasila senantiasa harus diamalkan dalam setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar tercipta persatuan dan kesatuan antar warga Indonesia.


DAFTAR  PUSTAKA

Dirjen Dikti Kemendikbud RI. Materi ajar mata kuliah pancasila. 2013
Kaelan MS. 2002. Pendidikan pancasila. Edisi Reformasi. Yogyakarta : Paradigma.
Winarno. 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Edisi Kedua. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Cahyani Rahmatika di 09.09 ,23 November 2019


Makalah Media komunikasi

BAB   I PENDAHULUAN A.    Latar belakang Dalam kehidupan manusia tidak lepas dari komunikasi  baik itu perorangan atau kelompok. Hal...